creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Rabu, 23 Juli 2008

Anak Gasibu Piknik ke Jakarta

Akhirnya setelah beberapa bulan ogah, saya pergi ke Jakarta juga. Apa yang anda pikirkan tentang Jakarta? Kota yang jahat? Banyak rampok? Mudah cari pekerjaan? Impian banyak orang? Mungkin... karena menurut pepatah yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan efeknya pada setiap orang, Ibukota (a.k.a. Jakarta) itu lebih kejam daripada ibu tiri.

Tentu saja Jakarta memang lebih kejam daripada ibu tiri, apalagi kalau anda tidak punya keahlian sedikitpun. Kasarnya anda ke Jakarta, modal nekat, berusaha untuk jadi pembantu rumah tangga. Jangan salah, ada ribuan orang yang bersaing sama dengan anda. Mereka yang berhasil akan tinggal di rumah-rumah agak mewah sampai istana. Yang gagal, silahkan tinggal di... manapun anda bisa tidur.

Kalau anda punya keahlian, walaupun hanya bisa masak. Mungkin anda bisa menjadi pekerja informal, seperti tukang dagang makanan keliling, atau anda bekerja sebagai chef (istilah keren dari Perancis buat “tukang masak”) di rumah makan Padang terdekat. Ke situlah tujuan saya ke Jakarta. Untuk “merayu” seseorang, agar bisa memberi saya pekerjaan. Tujuan utama? Bukan, saat itu lebih penting curhat daripada masalah kerjaan.

Security in Station

Dengan kereta Argo Gede (keren amat, biasanya juga naik Parahyangan, atau Super Ekonomi), saya pergi ke Jakarta. Naik kereta api, bagi yang belum tau kalau Argo Gede itu nama “trayek” kereta api. Kesan pertama yang saya dapat di Jakarta ternyata masih sama sejak saya datang kurang lebih 1 tahun yang lalu. Kelihatannya...

Bedanya... sejak stasiun bekasi, saya melihat ada, eh banyak sekuriti (lagi lagi istilah keren dari inggris untuk “satpam”). Mungkin setiap 10 meter di tiap stasiun. Apakah ini merupakan tanda-tanda stasiun di DAOP 1 sudah kurang aman?

Sebenarnya kekurang-amanan DAOP 1 sudah dikeluhkan oleh masyarakat sejak dulu. Bahkan saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri ada copet yang sukses meraih 1 buah tas tangan di KRL.
Dengan adanya tampahan tenaga keamanan, apakah menjadikan DAOP 1 lebih aman? Belum tentu juga sih. Copet dan kawan kawannya tentu saja masih berkeliaran. Cuma tidak separah dulu. Maksudnya, kalau dulu copet dkk. mencuri terang-terangan, sekarang mereka mencuri diam diam.

Revolusi Transportasi

Masih soal transportasi. Dulu Jakarta dikenal sebagai kota yang superpadat, supersibuk, supercuek. Kini Jakarta punya mainan yang nggak begitu baru yang diberi nama Busway (baca: baswey, bukan buswai).

Mungkin anda yang berada di daerah sering mendengar dari pemberitaan televisi, kalau pembuatan jalur-jalur busway dikeluhkan akibat membuat lalu lintas tambah macet.

Lagi-lagi ini opini saya. Busway yang dikelola oleh PT. Transjakarta, sebenarnya cukup sukses. Cukup sukses memindahkan penumpang dari bus biasa ke busway. Sedangkan bus biasa cukup kosong. Sedangkan penyetir kendaraan pribadi masih males menggunakan Busway. Entah kenapa. Selalu penuh? Itu sih kata mereka aja. Bus bus tertentu nggak selalu penuh koq. Makanya pengelola busway mengaku rugi akibat bus mereka nggak penuh terus.

Atau mungkin karena hal yang lain?

Seperti perjalanan saya dari sekitaran Matraman – Kampung Melayu, ke Gambir, yang kemudian nyasar ke Ancol. Dari Matraman kami terpaksa menaiki bus yang nyaris seperti kaleng sarden. Di kaca bus tertulis kapasitas maksimum 85 orang. Tapi dari hitungan kasar, isi bus bisa mencapai 100 orang. Untung jalur busway tidak berkelok atau nanjak-mudun. Kalau seperti itu, bus bisa terguling.

Perjalanan memakai busway cukup... cukuplah. Menyenangkan tidak, karena penumpang disamakan dengan kaleng sarden tadi. Tadi menyebalkan juga tidak. Karena saya melihat beberapa om-om bermersi dan ber-bmw, di tengah kemacetan. Saya membayangkan wajah mereka yang merengut menahan kesal, tapi juga masih tetap memiliki ego untuk berkata: “my car, my way”.

Usaha pemda Jakarta dengan ngototnya memaksakan proyek busway tampaknya cukup berhasil. Setidaknya menurut sebuah penelitian yang agak-agak kurang independen. 20% penyetir kendaraan sendiri (atau masih leasing.) mau pindah ke busway. Patut sebenarnya dicontoh oleh pemda pemda lain yang lumayan tajir. Contohnya Bandung.
Hallo, apa kabar Bandung? Apa kabar Trans Metro Bandung? Apa kabar Dada Roda? Kok diem diem aja nih? Itu proyek TMB mau selesai kapan? Jalurnya pun sudah di-cat untuk yang kedua kalinya, tapi tidak ada satu bus pun yang nongol. Jangankan bus, haltenya aja enggak ada.

Bandar Jakarta

Sudahkah saya katakan kalau saya suka dengan open sea? Itu membuat saya sering bertanya, ada apa di seberang, bagaimana kehidupan orang yang ada di seberang sana? Tapi sayang. (Restoran) Bandar Jakarta bukanlah sebuah restoran open sea di pinggir laut.
Dari halte busway, kami diliputi dilema. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat. Masih sekitar 5 jam lagi keberadaan saya di Jakarta. Tapi menurut guide saya, waktu 5 jam adalah waktu yang sempit. Akhirnya kami memilih untuk masuk area Ancol. Bayar 10 ribu sadja, untuk bergeser sebanyak 20 meter.

Untuk mencapai Bandar Jakarta dari pintu masuk busway, kami harus berjalan kaki. Seberapa jauh, kami tak tahu. Kami tawar ojek, mereka minta 10 ribu per orang. Buset! Mahal amat! Beberapa puluh meter berjalan, kami menyetop sebuah taksi. Ternyata harga penawaran yang diberikan oleh mas taksi itu juga tidak jauh berbeda. 20 ribu.
Sepakat harga, kami naik taksi itu. Dengan flat rate, kami tak takut dibawa muter-muter dulu akibat jalanan (dalem Ancol) yang agak macet. Setelah sampai di Bandar Jakarta, kami pikir, benar juga yan penawaran bang ojek tadi, 10 ribu. Jarak Bandar Jakarta ke halte busway mungkin Cuma 1km, tapi ditambah “surcharge daerah wisata”, harga 10 ribu menjadi wajar.

Di Bandar Jakarta saya bisa memuaskan hati saya, untuk melakukan hal hal yang tidak dapat dilakukan bersama kekasih. Makan Seafood. Alergi mengakibatkan saya tidak pernah makan seafood kalau sedang jalan bareng. Udang, Kerang dan Ikan kami pesan untuk dibakar dan dibumbui.

Keluar dari Bandar Jakarta, waktu sudah menunjukkan jam 6. Saya sudah harus menuju stasiun untuk kembali ke Bandung.

Kesimpulan akhir saya, Jakarta tampak lebih ramah dibandingkan dengan sebelumnya. Apalagi untuk saya warga kota Bandung yang biasanya tidak terlalu disibukkan dengan kemacetan lalu lintas. Tapi kalau untuk tempat tinggal? We’ll see that later...

Terima kasih kepada “tour-guide” saya selama di Jakarta. Kalau anda ke Bandung, akan saya ajak anda ke Gasibu tentu saja. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...