creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Selasa, 04 Juli 2006

Tijalikeuh

"udah berapa lama... sakit?"

"elu sakit ya?"

"elo sakit sih, j

adi piktor melulu"

“Sakit? Siapa bilang saya sakit? Saya nggak sakit kok! Buktinya kata dokter saya sehat sehat aja, nggak demam, nggak pilek, nggak batuk apalagi influenza. Trus kenapa saya disebut sakit? Sembarangan!”

Apakah benar yang namanya gay atau homoseksual adalah orang orang sakit? Kata siapa sih mereka sakit? Toh tidak semuanya sedang mengidap influenza, dan hanya sedikit persen yang mengida hiv atau aids. Lalu kenapa para homoseksual dikatakan sakit?

Kata “sakit” untuk penyebutan seorang homoseksual tampaknya sudah melebihi batas kewajaran. Mengapa tidak? Banyak orang yang sudah tersinggung kalau dirinya dikatakan sakit. Well, termasuk saya. Saya tidak sakit. Saya agak sedikit tersinggung jika seseorang yang baru saja saya kenal, mengatakan saya sakit. Hell no! Saya tidak sakit!

Kata sakit itu harus diubah, tidak semua setuju dengan kata sakit.

Mari kita berpikir secara logika, apa implikasi dari kata “sakit”. Sakit, bisa diartikan terkena penyakit. Penyakit adalah sesuatu yang dari dulu konteksnya selalu negatif, sangat jarang banhkan saya belum sempat nemu ada penyakit yang berakibat positif bagi tubuh saya.apalagi bagi kehidupan saya.

Benarkah gay adalah sebuah penyakit?

Ada beberapa penelitian yang menyebutkan gay adalah hasil keturunan genetis. Belum lagi ada yang bilang gay bisa disebabkan oleh besar kecilnya ruang janin. Tapi berapa persenkah itu? Kita tak tahu. Penelitiannya saja belum selesai kok, sudah mau nuduh nuduh. Jangan ah! Lagian, kalau benar hasil penelitiannya demikian, kok kayaknya kita sudah menyalahkan Tuhan. Saya masih yakin, gay bukanlah penyakit, atau kelainan genetis. Gay sepenuhnya lahir dari pergaulan kita dengan lingkungan kita.

Masalahnya banyak yang terpengaruh kepada kata sakit tadi. Seolah olah gay adalah sebuah penyakit. Lebih parah lagi, penyakit tersebut mampu menular dan menjangkiti siapa saja yang berada dekat dengan dengan seorang “pengidap” homoseksual. Hm... kesalahan kaprah yang luar biasa.

Jika gay adalah sebuah penyakit. Pasti ada suatu bagian tubuh yang berubah secara drastis. Seperti saat kita terkena batuk, tenggorokan kita meradang, secara tiba tiba, dan menimbulkan batuk. Apakah kalau kontol kita menegang ketika melihat laki laki keren lalu itu adalah penyakit homoseksual?

Padahal, tidak semua laki laki yang kita lihat mampu membangkitkan gairah seksual kita. Jika gay adalah penyakit, maka kontol kita akan selalu naik apabila melihat setiap laki laki. Ada istilah tersendiri untuk setiap manusia yang tidak bisa mengontrol gairah seksualnya, Hiperseks.

Jadi, kesimpulan saya, gay bukanlah suatu penyakit.

Kata apa yang pantas menggantikan kata “sakit”?

Memperhalus sebuah kata sakit memang tidak mudah, tapi tetap kita butuh penghalusan itu ketika kita berbicara di depan umum. Ketika kita tak mau berbicara secara gamblang di mall dengan teman sesama. Ketika kita masih “undercover”. Ketika kita mau mengobrol tentang hal hal sensitif, tanpa harus menyebut kita adaah seorang homoseksual.

Namun, kemarin, Husni, seorang pria gasibu, menyeletukkan sebuah kata yang sangat pantas untuk mengganti kata sakit. Saking pantasnya, rasanya kita harus mulai mengganti kata sakit dengan kata yang diucapkan oleh kang Husni.

“Tijalikeuh”

Tijalikeuh, ya, tijalikeuh. Dalam bahasa sunda tijalikeuh artinya terpeleset. Kang Husni, janda 2 kali dengan 2 anak yang lucu-lucu berkali kali menyebutkan kata itu di hadapan saya ketika sedang mengobrol di gasibu. Dan... what the hell!!! Saya jauh lebih setuju menggunakan kata itu daripada kata sakit.

Tijalikeuh atau terpeleset sama sekali tidak berkonotasi negatif, berbeda dengan sakit. Bandingkan tijalikeuh dengan sakit. Saat anda tijalikeuh, anda bisa langsung berdiri, mengubah posisi anda, dan berjalan kembali dengan benar, walaupun demikian, kaki anda mungkin masih sakit, bahkan mungkin mengalami relokasi. Namun tak sedikit orang yang tijalikeuh, kembali dalam posisi yang baik. Tanpa cedera. Hanya ingat saja bagaimana adna pernah tijalikeuh.

Saat anda sakit, anda harus mati matian menyembuhkan diri anda. Kalau tidak anda bisa mati. Membiarkan seseorang dalam keadaan sakit adalah hal yang tidak manusiawi. Karena orang sakit harus ditolong, seringan atau seberat apapun penyakit itu. Sebuah penyakit walau sudah dikatakan sembuh akan memiliki bekas yang mendalam. Sama sama mulai dari ingatan saja, atau sampai sebuah cacat.

Lalu kenapa tijalikeuh memberikan makna yang lebih positif daripada sakit?

Tijalikeuh lebih banyak memberikan kesempatan kepada semua homoseksual untuk bersikap secara merdeka. Bersikap menurut apa yang dikatakannya benar. Terserah bagi mereka sang “tijalikeuheun” untuk menangani masalah tijalikeuhnya. Apakah mau ke tukang urut – artinya melibatkan orang lain - , diurut sendiri atau pakai salonpas, atau dibiarkan saja sampai hilang sendiri atau dibiarkan saja tetap agak keseleo.

Sakit, karena dianggap berasal dari sebuah penyakit, maka untuk menyelesaikannya hampir selalu dibutuhkan seorang dokter. Dokterlah yang menentukan arah kita akan kemana, dokterlah yang “bertugas” menyembuhkan kita. Dokterlah yang memberi resep yang harus kita konsumsi. Akhirnya, dokter yang “menentukan nasib” seorang pesakit. Apakah selamanya akan sakit, atau menjadi sehat.

Kita tidak sekedar menggunakan tijalikeuh untuk memperhalus atau menutupi kata homoseksual, tapi menggunakan kata tijalikeuh atau terpeleset, bagi lawan bicara kita, akan memberi makna, bahwa kita mau berubah. Ke arah mana? Biar kita yang menentukan. Minimal, kita sudah memberikan respon positif kepada seseorang, dan mudah mudahan, sesuai dengan apa yang diharapkannya. Karena umumnya manusia heteroseksual, secara insting ingin “menyembuhkan” para homoseksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...