creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Selasa, 18 April 2006

Saat Congormu Tak Bisa Tersenyum

Heh! Ngapain kamu masih disini? Bukannya tadi kamu udah pamit ke gue? Ngapain lagi elo ada di meja gue, ga pake minta ijin lagi!”

“lagi bikin blogger teh.”

“ga pake minta ijin lagi!”

“lah, tadi kan teteh lagi tidur?”

“gue ga tidur tau! Ini biasa, gue mejemin mata gue yang panas sebentar! Bukan urusan elo!”

“ya udah, silahkan teh”

Aku terpaksa mengalah, dengan hati panas karena dimarahi di tempat kerja.

“saya pulang dulu teh.”

“ya!”

Aku buru buru keluar demi menghindari amarahnya terus berlanjut. Yah... Memang aku juga salah, aku tidak permisi menggunakan komputernya. Sepertinya memang mereka sudah memendam kebencian sejak beberapa hari yang lalu aku mengalter salah satu komputer mereka.

Ya. Aku hanya kerja praktek disana. Niatku mengalter komputer bukan hanya untuk senang senang. Aku hanya ingin memudahkan tugas mereka saja. Tapi ada daya. Sepertinya mereka tidak suka.

Yahoo! Widget engine yang kupasang sudah dicabut dan dihapus dari system mereka. Begitu pula firefox. Padahal dengan itu mereka bisa lebih mudah mengupdate scoreboard. Daripada harus bolak balik meload page yang sama? Bukankah lebih gampang mengakses sesuatu berbasis atom xml?

Sejak pertama aku bekerja disini memang mereka sudah mengingatkanku. Mereka agak susah untuk “belajar kembali” bahkan untuk one step a time pun tampaknya tidak berlaku.

Ah sudahlah...

Aku tersenyum kepada mas satpam yang sedang bertugas. Di lembaga ini, sang satpam tidak menggunakan putih biru, atau biru biru seperti yang lain. Mereka menggunakan safari. Mungkin biar terlihat lebih bersahabat. Karena yang datang ke lembaga ini adalah orang orang berduit.

Gimana nggak, aku kerja praktek di sebuah showroom mobil, yang diatasnya ada stasiun radionya. Tentu saja yang datang kesana adalah orang yang akan, mau atau sekedar melihat lihat mobil yang mungkin akan menjadi miliknya.

Hari pertama saja aku kesana. Untuk menyampaikan surat, aku sudah disuguhi pemandangan erotis. Seorang polisi lalu lintas lengkap dengan boot panjangnya sedang melihat sebuah pickup. Hmm nikmat kali ya bermesraan dengan mereka.

Aku pulang dengan gontai. Aku bingung, apakah aku harus kembali kesana dan meminta maaf? Atau aku cepat cepat pulang saja? Kebetulan sepedaku rusak dan aku harus menggunakan angkot.

Sambil berjalan, seperti kata popo, aku autokritik, dan suka mencari pembenaran. Akhirnya kutemukan. Bahkan aku sendiri sering mengalaminya. Aku tak tahu istilah tepatnya di psikologi apa. Tapi kadang bangun tidur aku sering masih dalam keadaan disoriented. Kadang meracau dan tak ingat apapun. Mungkin ini yang terjadi pada teteh.

Ketika bangun tadi kulihat matanya masih merah. Sepertinya memang dia disoriented. Jangan jangan kalau esok aku kembali kesana dan minta maaf malah aku yang dimarahi habis habisan. Ah sudahlah. Mungkin sudah terlalu banyak kesalahan yang kubuat untuk mereka.

Niatku untuk menyenangkan, memudahkan pekerjaan mereka tak dapat terjadi. Yang ada hanya kekecewaan. Nu benar, kami dimanfaatkan pada saat bekerja praktek. Tak ada yang istimewa. Tapi aku masih tak mau membayar seratus ribu untuk sebulan bekerja praktik di radio republik ini.

Untuk melepaskan stress, aku lebih baik jalan kaki saja. Seperti biasa. Otakku langsung bekerja kembali. Istilah yang kubuat: routing. Aku merencanakan ke mana kakiku akan kubawa sore ini. Yang pertama terbayang adalah mengikuti rute angkot margahayu ledeng. Angkot yang harusnya kunaiki untuk pulang itu.

Rute angkot tersebut, mungkin bagiku bukan merupakan petualangan. Tak ada yang sangat menarik dari rute itu. Satu satunya yang menarik dari rute itu adalah ketika melewati pussenif. Tapi itu jauh dan... Satu satunya pemandangan indah. Lebih parah lagi, pemandangan indahnya mungkin hanya berlangsung 15 meter, yaitu saat aku melewati gerbang yuddha wasthu pramukha. Sisanya? Tak ada yang menarik.

Aku menyusuri jalan cipaganti dengan lambat. Aku masih memikirkan rute mana yang harus kutempuh. Di kantongku hanya ada uang sebesar empat ribu saja. Cukup sebenarnya untuk dua tour. Satunya bernilai 2500 dan satu lagi bernilai 1500. Aku mulai merencanakan kembali. Lebih baik aku piknik ke jalan jawa saja. Mungkin disana ada pemandangan indah.

Aku sudah ada di jalan wastukencana. Lalu mengarah ke jalan aceh.

Aku sedang menyusuri merdeka speedway, ketika mataku kembali tertumbuk ke sebuah spanduk.

“7 april, maaf perjalanan anda akan terganggu. Kami akan menuntut agar blue bird dihentikan ijin operasionalnya di bandung.” Kalau aku tak salah ingat. Itu bunyi spanduknya. Kalau tak salah pula, mereka menamakan dirinya “asosiasi pengusaha taksi”.

Tampaknya mereka belum sadar sadar juga. Blue bird adalah taksi terbaik yang pernah kota bandung miliki. Taksi yang ada? Wah maaf, sudah setumpuk dan menggunung, hal hal yang menyebalkan yang kalian lakukan.

Argo ada di setiap taksi kalian. Tapi kalian tak pernah menggunakannya. Kalian selalu menggunakan argo tembak. Ac ada di setiap taksi kalian tapi kalau kami penumpang tak memintanya, kalian tak akan pernah nyalakan itu ac.

Bluebird datang, kami kembali menggunakan argo dan menikmati ac di dalam kendaraan. Bandung makin panas...

Taksi yang ada protes, karena merasa penghasilan akan terambil. Jelas! Sampai sekarang kualitas kalian taksi lama tak berubah. Tak ada peningkatan sedikitpun. Sadarkah kalian, dengan sistem setoran yang masih perusahaan kalian berlakukan itu, kalian tak diperhatikan oleh pemilik perusahaan? Kalian hanya diperas tenaganya oleh perusahaan, tanpa imbalan yang memadai? Dan kalian masih ingin membela perusahaan seperti itu?

Cobalah kalian bikin perusahaan taksi sendiri. Tiru bagaimana cara manajemen blue bird bekerja. Plagiat? Ah yang penting dapur ngebul kan? Sistem manajemen perusahaan itu kan bukan sesuatu yang bisa dilindungi oleh hak cipta atau sejenisnya!

Sayangnya mereka protes ke alamat yang salah. Bluebird.

Aku sudah mendekati jalan jawa. Sejenak aku melihat ke gedung bank indonesia yang megah. Aku sempat kecele ketika temanku ngotot ngototan dengan aku soal “punya teman di bi”. Dia mengklaim punya teman dirut di bandung. Hell... Mas eddy kan jelas kalah! Dia hanya di bagian pengawasan uang palsu. Aku memang menghentikan acara ngotot ngototan itu. Tapi aku malah teringat fikar. Ayahnya lah yang kerja sebagai dirut bi. Oh bodohnya aku...

Aku berbelok ke jalan jawa. Ternyata pemandangannya tidak seperti yang aku bayangkan. Hampir tak terlihat satupun polisi sedang berada disana. Polwil bandung sepi. Bagian satlantas sepi. Bahkan... Oh aku jadi ingat suamiku... Satuan reserse, juga sepi. Kemanakah mereka? Kemanakah pemandangan yang aku inginkan?

Sudahlah. Mungkin bukan keuntunganku saja. Di depan masih ada 3 sajian yang bisa kunikmati. Aku terus berjalan, kakiku mulai pegal. Mungkin sudah sekitar empat atau lima kilometer aku berjalan dari cihampelas tadi.

Aku kembali ke jalur kiri, karena pemandangan yang kuharapkan ada di jalur kiri.

Malam malam aku melewati daerah ini, dalam rangka ingin mencari enak. Sampai di detasemen polisi militer aku melihat ada dua orang yang sedang piket. Wah... Rasanya kalau dua orang aku masih bisa melayani mereka.

Aku sudah membayangkan menghisap kontol gede mereka. Kemudian mereka memaksaku nungging dan aku dientot dengan kuat. Sampai pagi. Ah nikmat sekali tampaknya. Dengan tenaga yang mereka miliki, mereka tumpahkan kebosanan ke pantatku. Dan aku siap siap saja menerimanya.

Lagian kalau dua bisa kuajak mereka untuk sama sama tahu sajalah. Sama sama butuh. Jadi tidak ada sesuatu yang terlalu berbahaya yang akan kubuat.

Untuk kedua kalinya aku memutar ke arah detasemen polisi militer. Aku sempat berhenti lama. Sudah jam empat pagi. Tanganku serasa amat dingin sekali. Aku bimbang, apakah aku akan menghampiri mereka untuk menghangatkan diri. Atau pulang saja ke rumah?

Kuberanikan saja ah!

Aku mendekati mereka. Dan... “pak, maaf, bisa ikut ke toilet?”

“anda dari mana?”

Aku naik ke pos mereka... Deg!!! Satu dua tiga!! Tiga tentara lainnya tertidur dengan nikmatnya di pos provost itu! Sial!!! Aku tak mungkin bermain api! Aku bisa dihajar! Masuk rencana b!

“dari margahayu pak. Boleh saya ikut ke kamar kecil pak?”

Mereka memanggilkan seseorang, sepertinya hanya pesuruh, bukan tentara dan dia yang mengantarkan aku ke kamar kecil. Aku membuang buang air. Pura pura buang hajat saja lah! Aku bertahan di kamar kecil sekitar lima menit sebelum keluar lagi.

Ah nyaliku ciut menghadapi lima orang sekaligus. Kalau cuma dua aku masih berani. Lagian kalau lima... Misalnya mereka mau menghangatkan diri bareng, apakah pantatku bisa mengakomodasi lima kontol? Aku masih 21 tahun. Aku belum mau pantatku jadi longgar.

Lima hari kemudian, sore itu aku kembali nekat melewati detasemen polisi militer. Apakah mereka akan mengenaliku? Mudah mudahan... Siapa tahu bisa berlanjut dengan perkenalan, kemudian... Pertemuan, dan kemudian... Percintaan... Oh mimpi indah di siang bolong.

Detasemen polisi militer semakin dekat. Aku melihat seorang provost berseragam lengkap membawa cangkul. Tampaknya mereka sedang bekerja bakti. Ah gak papa. Aku gak bakal ganggu mereka kalau begitu. Cuma sekedar numpang lewat saja.

Deg deg deg deg...

Semakin dekat...

“yeuh cangkulna pa...”

Provost itu memberikan cangkulnya kepada seorang lelaki tua yang sedang membersihkan rumput di halaman depan detasemen.

Sejenak aku melihat ke lelaki tua itu. Kemudian ke sang provost.

Sang provost tersenyum kepadaku.

Aku... Sangat berusaha membalas senyumnya...

Kenapa bibirku tak mau bergerak!!!

Kenapa! Kenapa saat ada anggota provost yang tersenyum kepadaku aku tak mampu tersenyum? Kenapa!!!

Aku berusaha dengan keras menyenyumkan bibirku. Namun bibirku seperti membeku. Malah bibirku terbuka sedikit.

Ya... Tiga detik setelah itu, aku baru tersadar semua yang terjadi. Aku terhipnotis oleh pandangannya yang begitu dalam. Aku terpana karena dia begitu tampan. Aku tergagap karena dia mau tersenyum kepadaku.

Jantungku berdetak keras. Aku menoleh, mengharapkan sang provost melihat kembali kepadaku. Tapi dia berjalan tegap, mungkin sibuk. Tak kembali dia melihat kepadaku.

Baru kali ini aku menyesal karena tak bisa tersenyum.

Ketika irawan sang samapta menyapaku aku terlalu sibuk menghadapi chicane di belakang komplek, aku tak bisa tersenyum. Sekarang aku kembali tak bisa tersenyum, aku terlalu sibuk untuk melihat iqbal sang provost dan mereguk ketampanannya.

Oh.. Seandainya aku bisa tersenyum. Mungkin aku sudah ada di pelukan irawan atau iqbal.

Hilang sudah rasa kesal dimarahi teteh. Yang ada hanya rasa sesal, yang entah kenapa begitu menyenangkan. Aku bersyukur teteh memarahiku, kalau tidak mungkin aku tidak memutuskan untuk berjalan kaki pulang, kalau tidak, aku tak akan terpana oleh iqbal sang provost.

Untuk iqbal, aku ingin kenal kamu lebih dekat. Tolong senyumi aku jika aku lewat detasemen polisi milter lagi.

Untuk irawan, kamu desersi ya? Kok saya tidak pernah lihat kamu di mobil atau di kantor?

:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...