creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Senin, 19 September 2011

Tentara Itu... #5

I don't do it for the money, there's bills that I can't pay
I don't do it for the glory, I just do it anyway
Providing for our future's my responsibility
Yeah I'm real good under pressure
Being all that I can be

And I can't call in sick on Mondays when the weekends been too strong
I just work straight through the holidays, and sometimes all night long
You can bet that I stand ready when the wolf growls at the door
Hey, I'm solid, hey I'm steady, hey, I'm true down to the core

And I will always do my duty no matter what the price
I've counted up the cost, I know the sacrifice
Oh, and I don't want to die for you, but if dyin's asked of me
I'll bear that cross with honor, 'cause freedom don't come free
// Toby Keith - American Soldiers

"Jadi… ada apa antara kamu sama Yanto?"

Kami sedang ngopi di warung kecil deket tenda. Sudah hampir 3 hari kami di kota ini. Dan Polisi tampaknya sudah mulai berhasil mengendalikan massa. Hanya masih ada sedikit tegang di sana sini. Mungkin syaraf penduduk masih tegang. Jadi ada masalah sedikit aja mereka langsung bereaksi agak berlebihan.

"Maksudnya?" aku menjawab.
"Ayolah… aku liat kamu… " Sugiman menunduk ke aku dan berbisik di telinga. "cium dia."

"Jadi? Aku kan butuh support. Kamu tau kan ini bakal lama?"

"Bullshit deh. Kalo cuma 'support' doang, nggak sampe seperti itu." Sugiman menyeruput kopinya. "Udah berapa lama…"

"Apanya?"

Sugiman membentuk tanda kutip dengan empat jarinya. "Jadian?"

Aku tersedak kopiku. "Bwahahaha. Maksud lo?"

"Ya… gitu. Aku lihat kamu cium dia. Sudah berapa bulan ini topik bicara kamu cuma Yanto ini… yanto itu… yanto kuliah… yanto ke pasar…"

"Emang apa bedanya?"

"Kayak orang sedang jatuh cinta."

Emang gw segitu 'transparan' ya? Tapi yang keluar dari mulutku cuma "Oh..."

"Rileks aja kali, kamu bisa ngomong ke saya kalo kamu mau."

Aku cuma diam dan menghabiskan kopiku. Pagi itu adalah hari keempat. Rencananya kami akan mulai disebar ke pegunungan Jayawijaya, untuk mencari sisa gerombolan pemberontak.

"Aku bingung, ngapain sih mereka mau 'merdeka'?" Aku tanya Sugi pas jalan balik ke tenda.

"Nggak tahu, ngurus diri sendiri aja nggak bisa." Sugi menjawab.

"Maksudmu?" aku bertanya balik.

"Liat aja, berapa banyak kasus 'perang suku' lima sepuluh tahun terakhir?"

"Nggak banyak sih, tapi sekali ada yang ribut, bakalan jadi luas."

"Nah itu maksud aku. Orang sini, masih menggunakan hukum adat. Suku suku lokal nggak peduli dengan hukum negara kan?"

"Bukan nggak peduli, mungkin nggak percaya."

"Atau hukum adat lebih instan?"

"Mungkin..." pikiranku melebar.

"...tapi itu jadi ngebikin mereka mudah dimanfaatin sama OPM ini. Lihat Timor Timur sekarang. Cuma jadi negara bagian Australia."

"Ahahaha. Ya… kadang kalo aku ketemu veteran ops Seroja, mereka… gak tahulah… itu hasil kerja mereka yang kemudian… dimerdekakan gitu aja."

"For better or for worse..." Sugi meyahut.

"For worse I think..."

Hari masih pagi, jam 7 tepatnya. Kami apel, dan kemudian diberi tugas. Peleton kami akan disebar ke sebuah titik di gunung. Menurut informasi intelijen, sekelompok pemberontak biasanya melewati titik tertentu untuk kembali ke markas mereka. Ada beberapa titik. Dan tugas kami adalah mencegat mereka di titik itu, dan membawa mereka kembali untuk diinterogasi.

"Usahakan tak ada korban… dari kita. Saya tidak terlalu peduli dengan korban dari mereka." Briefing dipimpin langsung oleh Kapten Alex. Pemuda lokal yang berhasil masuk Akademi Militer. Menghabiskan masa kecil di pegunungan, Kapten Alex sekarang jadi ahli strategi gerilya.

"Jadi… kita bisa habisi mereka Kapten?" Sersan Chandra bertanya.

"Jangan sersan. Sisakan untuk interogasi. Kita butuh informasi." Kapten Alex menghela nafas. "Oke, waktu kita ada 48 jam. Perwira, ikut saya untuk bikin laporan, kecuali kamu, Letnan Suradi, kamu supervisi mereka di lapangan. Bintara, koordinasikan dengan peleton masing-masing. Bubar."

"Siap! Bubar jalan!" Letnan Suradi memerintahkan kami untuk bubar.

Baru selangkah bubar, "Oh… Sersan Bernhard, panggil Sersan Sugiman. Kalian berdua lapor ke saya sebelum berangkat."

Lima menit kemudian, kami berdua sudah di hadapan Kapten Alex.

"Oke… Sugiman, Bernhard. Ini targetnya."

Kapten Alex menunjukkan sebuah foto. "Ini adalah pemimpin lokal dari OPM. Menurut intelijen, dia selalu dikawal sama 4 hingga 8 orang. Semuanya pakai senjata otomatis. Tugas kamu berdua adalah membawa 'tikus' ini. Mungkin kamu harus menghabisi pengawalnya, tapi 'tikus' ini, jangan sampai mati. Bisa?"

"Hmm… pakai SS atau rifle standar, Kep?" Sugi bertanya.

"Saya maunya pakai SS, tapi ada kemungkinan tikus ini bisa kena. Jadi jangan pakai SS. Jadi makanya beresi si pengawalnya satu satu. Baru kalian lumpuhkan tikusnya."

"Oke. Siap" aku dan Sugi menjawab.

Bagian itulah dari pekerjaanku yang tidak aku bilang ke Yanto. Aku, Bernhard Napitupulu, adalah seorang Sniper. Tugas utamaku di lapangan memang radioman. Aku yang memanggul radio interkoneksi dengan markas seberat 10 kg lebih. Tapi aku juga bisa menembak presisi.

Dan Yanto tidak tahu itu. Tepatnya, aku memutuskan dia tidak perlu tau. Dia mungkin perlu tahu, tapi tidak sekarang.

Bukannya aku pikir dia nggak bakalan kuat buat nerima hal seperti itu. Cuma… kadang aku sendiri nggak yakin apa… orang yang jadi target memang benar-benar patut dihabisi? Mereka mungkin punya keluarga, punya keinginan, punya harapan...

Kadang setelah mengamati target berhari hari, ada timbul perasaan nggak tega. Tapi, kalau lihat bagaimana bahayanya mereka untuk negara, semua itu terhapus. Bagaimana mungkin, aku mengorbankan jutaan keluarga lain untuk dia? Orang orang seperti tikus target yang aku hadapi sekarang ini, kebanyakan sudah tidak bisa diubah secara persuasif. Perlu sesuatu yang sangat besar untuk mengubah dia.

Contoh nyatanya Aceh. Mungkin kalau nggak ada tsunami, GAM dan TNI masih menembaki satu sama lain. Dan aku mungkin juga akan membantu menghapus satu atau dua kepala pempimpin GAM. Entahlah...

Ya, inilah pekerjaanku. Pekerjaan. Hanya pekerjaan. Tidak lebih, tidak kurang. Pembunuh berlisensi. Aku punya senapan serbu, senapan standar untuk kaliber 20, dan Baretta. Semuanya sebenarnya bergeletakan di rumah. Yanto tahu, tapi tidak bertanya. Asumsi dia mungkin semua tentara pegang senjata. Yang nggak dia tahu, Tidak semua senjata boleh dibawa ke rumah.

Kalau beresin rumah pun dia cuek. Dia cuma tanya 'ini kekunci kan?'. Dan setelah aku bilang 'iya', dia angkat itu senjata, dan lanjutin membersihkan rumah.

Itulah yang aku butuhkan dari Yanto. Kemengertian. Nggak semua pasangan punya sikap seperti itu. Cewek kadang terlalu banyak resenya. Aku nggak suka, aku sudah pengalaman di SMA, dan beberapa di Secaba. Terlalu banyak omong, terlalu banyak tanya.

Yanto tau apa yang aku mau. Pulang nembak, dia langsung menyambut, memberikan kehangatan, segala sesuatu yang aku butuhkan setelah menghilangkan nyawa seseorang. Aku nggak terlalu bangga dengan tugasku sebagai sniper. Tapi nggak juga membuatku jadi menutup diri. Sniper, adalah pekerjaanku. Hanya pekerjaan. Tidak lebih, tidak kurang.

And I'm grateful, that I have Yanto when I'm coming home.

"Ngelamun apa kamu?" Sugi noel aku tiba tiba.

"Ah enggak."

"Fokus buddy, fokus."

Kami sudah berjalan lebih dari 20km dan masih ada sekitar 30 sampai 40km lagi sebelum kami tiba di titik tujuan. Satu persatu anggota peleton menyebar ke titik masing masing. Tidak sampai 50 meter jaraknya. Tapi karena semua menggunakan PDL dan kamuflase, mereka jadi blending dan agak susah terlihat dengan mata.

Kami menggali lubang sembunyi masing masing. Yang satu menggali, yang satu berjaga.

"Ini kayak game ya?" Tanya Sugi

"Ini memang game. Yang menang bakal merdeka." Aku nyengir.

"Kita akan menang kan?" Sugi bertanya, lebih tepatnya, meyakinkan diri sendiri.

"Kita selalu menang. Kita belum pernah kalah." Aku tersenyum.

Nyatanya, Indonesia memang tidak pernah kalah perang. Kita menang perang Kemerdekaan, kita menang perang untuk Irian Barat, kita menang perang untuk Timor Timur. Dan kalau bukan karena diplomasi dan politik, aku yakin kita menang lawan Malaysia waktu zaman Ganyang Malaysia, dan menang juga lawan GAM sebelum Tsunami.

Tinggal OPM dan RMS, musuh yang masih 'tersisa'. Sisanya politik, Jogja, perbatasan Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Timur… itu semua politik, bukan urusan militer. Kalau saja para politisi itu ngerti apa mau rakyat, kami nggak akan pernah perlu diterjunkan untuk urusan politik.

Aku dan Sugi bergantian menggali foxhole. Kurang lebih sedalam 1 meter, cukup untuk berdua. Kami akan tidur bareng mungkin seminggu, sebulan, siapa yang tau?

Aku membuka kaleng makanan. "Berdua aja ya. Biar hemat, kamu ada nasi kan?"

"Ada", Sugi membuka sebungkus nasi dan membaginya dengan aku. "Aku bawa 3 bungkus."

Kami makan di dalam foxhole dengan kaleng dan kertas nasi. "Ya… berarti baru lusa kita harus masak nasi. Air gimana?"

"Tadi kita lewat sungai. Kayaknya bisa diminum."

"Sekali kali mencret gak papa." Sugi nyengir, dan memukul bahuku.

Jadilah kami menunggu.… menunggu… siang… malam… sudah hampir 3 hari kami menunggu. Setiap kali aku berhubungan dengan yang lain, mereka selalu bilang nihil. Tidak ada satupun yang lewat. Aku jadi bingung. Jangan-jangan intelijen ini salah. Jangan-jangan mereka tidak pernah lewat sini.

Aku dan Sugi bergantian jaga, kurang lebih 6 jam sekali. Kalau aku butuh pelamasan dan segala macem, dan tentu saja tidur. Foxhole itu bukan tempat yang nyaman untuk ditinggali. kecil, dan kamu nggak bisa meluruskan kaki.

Tiba tiba radioku berbunyi.

"Ya?" Sugi mengangkatnya.

Di seberang sana nampaknya Kapten Alex. "Siap."

"Ada apa?" Tanyaku.

"Kalau sampai besok sore nggak ada apapun, kita kembali ke markas."

"Oh that's great." Gw gak suka. "Jalan jauh berpuluh kilometer, tidur bareng sama orang bau, cuma buat nunggu hal yang enggak ada? That's great."

"Hey, kamu juga bau. Kita udah nggak mandi lebih dari 5 hari kan?"

Aku cuma nyengir. "Mudah mudahan, kita bisa kembali besok dan pulang. Kamu tanya keadaan di kota?"

"Nggak, asumsinya udah terkontrol. Makanya kita ditarik."

"Tunda masalah lagi?"

"Kelihatannya seperti itu."

Well, masalah pemberontakan OPM ini akan ditunda lagi sampai kerusuhan berikutnya. Korban sipil akan jatuh lagi.

"Sudah telepon Yanto lagi?"

"Buat apa."

"Ya… kangen kangenan lah." Sugi nyengir.

"Mancing deh." Aku nyengir.

 Sugi mendekatkan badannya ke aku, dan menyenderkan kepalanya ke bahuku. Aku menoleh. "Apa?"

"Gak apa apa."

Tanganku meraih bahu Sugi, dan memeluknya. "Malam ini pasti dingin."

"He eh..."

Kami duduk saling merangkul lebih dari satu jam. Dan kuputuskan untuk… "Yanto memang… partner saya."

"Partner bisnis?"

"… sekarang kamu yang jadi melenceng." Aku menggumam. "Seperti kamu sama si Siti."

"Oh… partner seperti itu."

"Iya, partner seperti itu."

"Nggak heran." Sugi melepaskan pelukanku.

"Nggak bakal jadi masalah kan?" Aku ingin menegaskan.

"Nggak… nggak jadi masalah. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Kamu gak bakal memangsa saya kan?" Sugi serius.

"Maksudnya?" Aku nyengir dan pengen ketawa.

"Nggg… kamu taulah."

"Ya enggak lah!" Aku ketawa pelan beneran. "Satu, aku bukan kanibal. Dua, kalau kamu bisa setia sama Siti, kenapa aku nggak bisa setia sama Yanto?"

"Jadi kamu bener-bener serius?"

"Iya, aku serius."

"Bagus deh."

Sugi diam lagi… Aku tau ada sesuatu di pikirannya yang mau dia omongin. Tapi kayaknya nggak berani. "Ngomong aja."

"Apaan?"

"Kamu mau tau apa?"

"Nggak, cuma… ya jadi bagus aja, kalau aku ke rumahmu, aku nggak akan nemu banci banci berkeliaran kayak yang waktu itu kita temuin di Tegallega."

Aku ngakak. "Nggak, Yanto bukan banci, dan nggak akan pernah jadi banci. Aku butuh dia untuk hal lain."

"Seperti...?"

"Ya… aku pulang, aku butuh tatih tayang, Iya kan?" Aku nyengir.

Sugi cuma tersenyum. "Ya, Siti kadang… dia… dia ngerti, tapi kadang aku merasa dia nggak cukup ngerti."

"Kamu sudah bilang ke dia kamu sniper?"

"Belum."

"Aku juga. Aku belum bilang ke Yanto."

"Tapi dia tetap support kamu."

"Siti juga akan tetap support kamu. Mungkin kamu aja yang kurang nunjukkin kalau kamu butuh support dia."

"Mungkin juga..." Kami diam lagi, sampai… "Ya memang malam ini bakal dingin." Sugi kembali ke sampingku, dan aku langsung merangkulnya lagi. "Kamu tau Ben? Aku senang kamu homo."

"Karena…?"

"Karena pelukan kamu menghangatkan, kamu bisa meluk saya dengan bebas. Dan gw gak perlu merasa horny."

Aku ngakak lagi. Hari sudah malam, dan aku ngantuk. Sugi akan jaga setengah malam itu. Aku meringkuk dan tertidur.

"Benny! Bangun!" Sugi mengguncang keras badanku sambil berbisik. "Ada yang datang!"

Aku mengambil rifleku, memasukkan 6 kaliber 20. Dan siap membidik.

"Itu targetnya?" Aku berbisik.

Di depanku sekitar 50 meter berdiri 5 orang. Yang satu nampak seperti target. Dan intelijen benar. Pengawalnya 4 orang, mereka semua menggunakan senjata otomatis. Tampaknya AK47. "Damn, AK47."

"Tikusnya pegang apa?"

"Sama, AK47."

"Tikusnya harus dimatikan tangannya. Yang lain terpaksa dibuang."

"Oke, kamu dua yang di kiri, aku dua yang di kanan. Setelah itu, baru tikusnya."

Kami jatuh dalam kesunyian. Aku memberikan kode tangan ke Sugi, jangan tembak sampai dia lebih dekat lagi. Lebih dekat… lebih dekat...

"Hitungan tiga."

...

"Tiga."

Aku dan Sugi menarik pelatuk bersamaan. DOR! Kena! Dua jatuh! Dua lagi langsung refleks menembakkan AK47-nya ke semua arah. Beberapa melesat diatas kepalaku dan satu diantaranya jatuh tak lebih dari satu meter di depan foxhole.

"Reload… Tiga!"

DOR! Dua jatuh lagi. Tikusnya berdiri sendirian menembakkan senjata ke arah kami. Dia lalu berteriak dalam bahasa lokal. Rentetan peluru datang dari arah kiri.

"Sugi! Kamu sasar tikusnya!"

Aku menembakkan SS ke arah kiri. Posisi kami sudah terbuka. Aku samar samar melihat 8 hingga 9 orang jatuh. Tapi masih ada 10 orang lagi. Aku terus menembak dengan SS. Damn I love this gun! Sangat berguna dalam keadaan seperti ini.

Pletak!

"AAAAAAAAAAAAAGGGGGHH!!!"

"Wha?"

"Kaki gi! Kaki!"

Pletak!

DOR, DOR!

"Tikusnya jatuh! Tikusnya jatuh!"

DOR, DOR!

"AGGGH..." aku tersengal sengal. Sugi mengambil Senapan Serbu-ku, aku langsung meringkuk di bawah, menutupi bekas tembakan di kaki, pinggang, dan punggung.

"Sedikit lagi Ben, sedikit lagi!" DOR DOR DOR!

Dan pemberontak yang terakhir jatuh.

"Dimana?" Aku menunjuk bagian luka lukaku. "Anjing! Medik! Mediik!"

Tak ada satupun medik yang datang.

"Kamu bisa jalan?"

"Susah, susah."

"Aku harus cari medik."

"Cabut aja dulu, cabut aja dulu! FUCK!" Sugi melumuri tangannya dengan air, dan kemudian mengambil 4 peluru yang bersarang di badanku. Sakitnya luar biasa, dagingku terkoyak.

"Pendarahannya harus dihentikan."

Sugi merobek seragamku dan seragamnya, dan kemudian membalutkannya di bagian yang luka. Sakit sekali. "AAAAAH!" Nafasku nggak beraturan.

"Jangan gerak! Aku cari penyisir!"

"Gi!"

Aku mengambil selembar surat yang sudah kutulis setelah aku menelepon Yanto di sakuku. Melemparnya ke Sugi.

"Tolong donk Ben… nggak perlu... "

"Buat jaga jaga..., GOD IT'S HURTS!" aku melotot ke Sugi.

Sugi segera berbalik dan mencari tim penyisir. Aku tak tahu dimana dan kenapa pasukan yang lain tidak merespon panggilan radio. Aku memang terpisah hampir setengah kilometer dengan pasukanku yang lainnya. Mungkin jangkauan HT udah nggak sampai, atau mungkin HT mereka sudah mati.

Aku menahan nafas, mengaturnya. Tak lama setelah Sugi pergi, aku mendengar gerakan.

"SHIT"

Tikusnya bergerak, berdiri dan mengambil senjatanya. Bergerak ke arahku. Dengan sakit yang hampir tidak tertahan, aku mengambil rifle 20 dengan tangan kanan. dan langsung mengarahkan ke kakinya.

DOR, DOR!

Tikusnya jatuh lagi. dengan teriakan.

Sekuat tenaga aku keluar dari foxhole, merayap menuju tikus yang berteriak teriak kesakitan, mengambil Taser yang ada di saku bawah, dan menyetrumnya dua kali sampai dia pingsan.

Aku terus merayap ke pohon dan duduk bersender. Tersenyum, "We did it buddy, we did it. It's victory again for us." Dan semuanya menjadi hitam...

4 komentar:

  1. Bro... lanjut buruan. Berhentinya gak enak banget buat nunggu lanjutannya nih. Again two thumbs up !

    BalasHapus
  2. ini gimana? bukannya Ben lulusan AKMIL kok jadi Sersan. disini disebut secaba, bintara dunk

    BalasHapus
  3. @anonim, yes, you're right, it should be SECABA instead of AKMIL. Correction will be made on #1. Thx.

    BalasHapus
  4. and #2 too... god! i know this series would have a flaw somewhere... :)

    BalasHapus

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...