creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Senin, 12 September 2011

Tentara Itu... #4

Gw nggak bisa berkata apa apa lagi. Air mata gw menetes. Ben memeluk gw...

"Kita sudah nahan ini cukup lama. Aku sudah nyari tempat yang tepat. Buat kita berdua, dan sekarang saatnya kita bikin hal yang baru."

Soal tempat tinggal memang jadi hal yang sangat.… bisa dbilang menyusahkan bagi kita berdua. Terutama kalo sadar bahwa kita sebenarnya tinggal kepisah. Gw di Babakan Surabaya, Kiaracondong. Dan Ben di Cimahi. Mungkin sebenernya cuma satu kali naik kereta. Tapi rasa kepisahnya tetep ada. 

Sekitar dua minggu kemarin misalnya, saat gw dan Ben menghabiskan akhir minggu di tempat gw. Malamnya mendekati waktu dia kembali ke Cimahi, gw bener-bener kesel, emang kita harus hidup seperti ini terus ya? Bukan takut, tapi kepisah. Yang satu mengunjungi yang lain. Tapi gw sadar, mungkin memang masih harus begini. Kondisi kita memang nggak ngijinin buat tinggal bersama, dulu. Suatu saat gw pengen tinggal bersama.

Jadi, pas Ben bilang gw akan pindah mendekati dia ke Cimahi, yang ada di pikiran gw hanya: akhirnya… saat yang ditunggu datang juga.

Kami ngepak barang seharian. Gw sih nggak terlalu punya banyak barang. Cuma, beberapa kardus saja. Ben kemudian minta pinjeman satu buah pick-up untuk mengangkut barang-barang gw ke Cimahi.

Ada sesuatu yang bikin gw kaget. Ternyata rumah itu sudah rapih dan bersih. Dan barang-barang Ben sudah ada di dalam. Seragam sudah tergantung rapi di lemari, komputer sudah diatas meja. Ruang keluarga sudah ber-TV. Dapur untuk masak-pun sudah siap.

"Lho, kok full furnish? Kirain cuma bawa barang dari kosan kamu dan saya?"

"Ada beberapa yang sudah termasuk nilai kontraknya, sisanya aku cari barang bekas yang masih bisa terpakai." Ben menjawab.

Dilihat dari bentuknya, lemari, TV sampai segala peralatan di dapur bukan barang bekas. Ini semua nyaris baru. Kalaupun ada cacat gores sedikit gw pikir lebih karena waktu mindahin nggak bener. Tapi gw diem ajalah. Gw membiarkan Ben yang ngatur. Gw hanya ikut menikmatinya.

Satu jam kemudian gw dan Ben yang berkeringat selesai menurunkan semua barang gw. Lemari kita kini jadi satu, TV kosan gw yang lebih kecil dipindahin ke kamar tidur. Oh iya, Sekarang kita punya tempat tidur ukuran Queen lho. Lebih luas, lebih besar. Dan… kayaknya lebih enak kalo dipake ngentot. Heheheh.

"So… welcome to our new home." Ben mencium kudukku dari belakang saat semuanya sudah selesai.

"Mmmm…" Gw bergidik, gemeteran enak. "Kasurnya kayaknya enak."

"Mau nyobain kasur baru?" Ben melompat ke atas kasur yang belum diselimuti seprai. "Sini, bobo bareng."

Gw menggelosor mendekati Ben pelan pelan mendekati tubuhnya yang masih agak basah berkeringat. Menjilati peluh di sekitar dadanya. Dan berakhir di mulutnya. Kami berciuman, dan lagi… dan lagi… dan lagi...

Hidup ini memang indah, apalagi kalau dijalani dengan orang yang kita sayangi. Pola hidup gw dan Ben sekarang sudah stabil. Ya, relatif stabil, apalagi kalau dikaitin sama kedinasan Ben, dan tugas kuliah gw yang menumpuk.

Kadang-kadang Ben pergi ke luar kota sendiri, beberapa hari. Dan gw selalu merasa kesepian. Tinggal sendiri di rumah. Untung masih ada kuliah, jadi kesepian gw agak teralihkan. Kadang gw mengundang temen gw ke rumah. Sekedar ngerjain tugas, atau ngobrol.

Pas Ben pulang, rasanya luar biasa. Tutup pintu langsung berpelukan, kissing by the lips, passionately. Menghilangkan rasa rindu.

"Kangen?" Ben bertanya saat gw sedang asyik menghisap aromanya. Ben baru pulang dari dinas luar kota hampir seminggu, entah kemana dia nggak pernah bilang. Dan gw cukup wise untuk tidak perlu bertanya. Kalau dia mau, dia akan cerita. Dan biasanya dia cerita apa yang dia lakukan. Gak tau ada yang disensor apa enggak.

"Iya." Gw menciumnya lagi. Kurang puas.

Ben melenguh di tengah ciuman. "I love you..."

"I love you too..."

Saat Ben pulang, dia biasanya dalam kondisi sangat capek. Badannya lebih hitam daripada sebelumnya. Gw berasumsi dia pasti dinas di luar ruang. Suatu waktu misalnya, gw baru sampai ke rumah sekitar jam 8 malem, dan lampu rumah sudah nyala. Ben sudah pulang.

Tampaknya karena terlalu capek, Ben hanya ngambil air lalu jatuh tertidur di sofa, tanpa sempat bongkar ransel, lepas sepatu, lepas seragam. Boro boro cuci muka atau mandi. Gw pun melepaskan sepatunya pelan-pelan, melepaskan ransel dari punggungnya, melonggarkan seragamnya, dan memapahnya ke tempat tidur. Dia tau tapi hanya melenguh lalu lanjut tidur lagi.

Gw menciumnya lalu ke dapur untuk menyiapkan makanan untuknya.

Aroma daging panggang membangunkan Ben dari tidurnya. Dia memeluk gw pas gw sedang membalik daging. "Hmm…"

"Udah sadar?"

"Mmmm…" Ben tidak ngomong apapun, dia hanya memelukku dari belakang sambil membaui rambutku. Tampaknya dia masih ngantuk.

"Mandi dulu sebentar sana, airnya sudah saya panasin. Nanti baru makan terus bobo lagi."

"Mmmm..." Ben melenguh, mencium tengkukku, melepaskan pelukannya dan bergerak lambat menuju kamar mandi.

Makan malam itu, Ben kayak orang kelaparan udah beberapa hari nggak makan. Dia makan hampir dua kali lipat dari biasanya. Habis makan pun langsung tidur lagi. Gw membereskan dan mencuci peralatan makan. Dan menyusul dia ke kamar tidur. Satu malam lagi kami bisa tidur dengan damai.

Kurang lebih satu minggu setelah itu, telepon berdering jam sekitar jam 2 dinihari. Kami sudah tidur, dan Ben dengan malas mengangkat telepon.

"Ya… ya… siap." Ben menjawab telepon dengan tegas. Ini pasti panggilan dinas. Gw yang masih setengah sadar terduduk di kasur. "To, tolong rapikan ransel ya, abang ada dinas. Seragam, tiga stel. Termasuk PDH."

Ben segera melompat keluar kasur, dan gw membuka lemari untuk memastikan semua yang dibutuhkan Ben siap. Pakaian Dinas Lapangan, Pakaian Dinas Harian. Sebelum tidur tadi dia sudah menyemir sepatunya.

"PDL, kamar mandi, tolong!" Gw mengambil satu stel lagi PDL dan memberikan ke Ben yang sedang cuci muka.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, pintu digedor.

"Berhard! Cepetan!" Terdengar suara teman Ben di luar. Aku membukakan pintu. Sugiman yang menggedor ternyata.

"Sebentar lagi, lagi pake sepatu." Gw menjawab kalem.

Ben keluar dari kamar sudah rapi dan siap berangkat. Mencium gw di dahi dan… "abang berangkat dulu."

Aku hanya tersenyum kecut. Ada rasa takut setiap dia dinas keluar kota, dan ini kali ketiga dia keluar dini hari. Sugiman pun hanya tersenyum saat dia melihat Ben mencium dahiku. Menepuk punggungnya, dua kawan tentara itu naik motor Sugiman ke markas mereka. Aku mengunci pintu dan lalu tidur lagi.

Paginya keadaan menjadi jelas, ada kerusuhan di bagian timur Indonesia. Seperti biasa, masalah sepele yang berkembang menjadi besar. Beberapa fasilitas umum, kendaraan pribadi dirusak. Kerusuhan meluas ke kota-kota sekitarnya.

Prajurit seperti Ben diperlukan disana, entah kenapa. Mungkin ada beberapa peralatan Telekomunikasi yang rusak, dan mereka mungkin kurang personil. Aku tidak tahu. Telepon genggamku berdering.

"Ya bang?"

"Sudah lihat berita?" Ben langsung bertanya, suaranya terburu-buru.

"Sudah. Hati-hati ya..."

"Dengerin, abang mungkin lama disini. bisa sebulan atau lebih. Belum tau abang bakal ditempatkan di mana. Abang selalu berdoa yang terbaik, tapi, kalau misal ada apa-apa, kamu harus kuat, OK?" Gw kaget, tidak biasa Ben ngomong seperti ini. "Rumah, sudah atas nama kita berdua, sudah lunas. Biaya pendidikan, biaya hidup kamu, juga sudah abang siapkan, ada di tabungan dan deposito. Asuransi juga sudah lengkap. Kamu jangan takut lagi. Ok?"

"Kenapa bang? Ada apa?" Tak terasa air mataku mengucur.

"Nanti saja ya, nanti..." Suara Ben melemah dan hubungan telepon mulai rusak. Gw hanya bisa mendengar "… A…  ang sayang… ka…"

Dan hubungan telepon terputus.

Gw terduduk lemas di kasur. Gw ingin tahu apa yang terjadi. Gw tidak kuliah hari itu.

Sepanjang minggu itu gw melihat berita-berita buruk terus berdatangan. Tampaknya kerusuhan tidak akan segera berakhir. Kata berita, kerusuhan ini didalangi oleh pemberontak setempat yang ingin memisahkan diri dari negara. Korban sipil berjatuhan karena pertikaian sesama mereka sendiri. Kepolisian sebisa mungkin memisahkan kelompok yang terus menerus perang, dengan senjata batu, panah beracun, bambu dan lain lain.

Tentara mengejar pemberontak masuk ke dalam pengunungan. Ada perang dan operasi yang besar yang terjadi di sana. Di Cimahi pun gerakan tentara terlihat sangat tidak biasa. Mobilitas yang terjadi lebih besar daripada biasanya.

Apa gw sudah cerita kalo gw kuliah Jurusan Jurnalistik? Gw pun memanfaatkan koneksi yang ada untuk mencari tahu apa yang terjadi disana.

Keadaan disana lebih parah daripada yang dibicarakan di Televisi. Televisi tampaknya menahan diri untuk tidak menyiarkan terlalu banyak kekerasan. Atau memang sudah diinstruksikan supaya tidak menyiarkan apapun yang terjadi disana sampai kondisi menjadi lebih aman.

Siang itu, Bandung sangat panas, dan gw baru saja menenggak sebotol langsung air mineral, ketika seorang tentara, agak tua, mendekati gw di kampus.

Aku pun berdiri dari tempat dudukku. Tentara itu menghormat, dan aku secara refleks membalasnya. "Yanto Setianto?"

"Betul."

"Bisa ikut saya? Anda diminta datang ke Pussenif."

Beberapa teman yang nggak tahu gw punya hubungan dekat dengan militer mengrenyitkan dahi. Tapi gw gak ambil peduli, ini mudah mudahan bukan berita buruk. Gw naik ke Avanza dinas yang dikemudikan tentara itu, dan hanya sepuluh menit, gw sudah ada di sebuah ruangan di Pusat Kesenjataan Infanteri. Diminta menunggu.

Tak lama kemudian, seorang jenderal masuk. Bintangnya belum empat. Pengawal yang menjaga gw menghormat padanya, dan gw berdiri.

"Tinggalkan kami." serta merata pengawal itu keluar ruangan. Jenderal itu kemudian menyuruhku duduk

"Yanto, maaf kalau kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini. Saya Antonius, Saya butuh pertolongan kamu."

"Pertolongan apa Jendral? Tampaknya anda punya banyak orang yang bisa membantu anda disini?"

"Saya punya informasi soal Bernhard Napitupulu. Kamu tahu dia kan?"

"Iya."

Jendral Antonius menghela napasnya. Matanya tidak berani memandang gw secara langsung/

"Kenapa Ben jendral? Nggak apa apa kan?"

Jendral Antonius menggenggam tangan gw. Dan kemudian memeluk gw. Tak perlu dikomando lagi, gw memeluk dia, gw tau ini bakal buruk. Di sela-sela pelukan itu, dengan suara agak serak… "Ben koma, dia tertembak di beberapa bagian. Saat tim penyisir menemukan dia, dia sudah kehilangan banyak darah."

Gw hanya bisa diam dan menangis. Jendral Antonius hanya memeluk dan mengelus punggungku.

Nggak, nggak bisa seperti ini, gw harus kuat, seperti kata Ben di telepon. Gw harus kuat. Gw mengusap dan membersihkan air mata. "Dimana dia jenderal?"

"Di ICU RSPAD." Jendral Antonius menjawab. "Tim penyisir baru menemukannya tadi malam. Dan pagi baru bisa diterbangkan ke Jakarta."

"Apa saya bisa lihat dia?"

"Untuk saat ini… tidak. Laporan terakhir dia di ICU, dan akan menjalani beberapa operasi. Secepat mungkin ada perkembangan, saya akan beritahu ke kamu. Saya minta kamu tunggu dia dengan tenang. Dia ada di tangan dokter-dokter paling baik di Indonesia. Lalu kemudian..."

Pikiran gw nggak bisa bekerja dengan baik. Gw tidak bisa lagi menerima informasi. Yang gw tau cuma Ben koma di rumah sakit di Jakarta, dan gw nggak bisa ngejenguk dia. Ketika Jendral Antonius memeluk gw sebelum keluar dari ruangan pun, gw masih dalam keadaan shock.

Saat di dalam mobil dan pulang ke Cimahi pun, gw tidak berkata apa apa. Gw cuma berharap ini mimpi buruk dan semuanya bisa cepat berakhir.

Gw turun dari mobil. Sebuah motor terparkir di depan rumah. Motor Sugi. Sugi nunggu di teras rumah, entah sejak jam berapa. Tangan kirinya masih ada perban. "Hei..."

Gw hanya bisa tersenyum kecut, tangan gw bergetar pas buka pintu. Sugi mengambil kuncinya dari tangan gw dan membuka pintu sialan itu. Gw masuk duluan dan langsung jatuh ke sofa. Sugi berlutut di samping gw, mengelus rambut gw.

"Maaf To… aku ndak bisa ngapa-ngapain. Aku sama Benny sedang sembunyi, pas tiba tiba kita diserang dari kiri. Benny ngelindungi aku, dia kena 4 peluru di kaki, tangan sama punggungnya."

Gw menangis. Sugi pun memelukku.

"Tolong tabah To… bukan buat kamu aja, tapi buat Benny juga."

"I'm sorry… it's just too…" Gw gak tau apa Sugi ngerti bahasa Inggris. Tapi pelukan dan usapannya di punggung membuatku sedikit lebih nyaman.

Sugi memeluk gw sampai gw berhenti nangis. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. "Aku tau, Benny bukan orang biasa buat kamu. Aku nggak tau, cinta kamu berdua sangat kuat. Aku nggak pernah lihat yang seperti ini sama cowok dan cewek." Sugi terus mengelus rambutku.

"Maaf ya To…"

"Tanganmu?"

"Pas Benny kena peluru yang terakhir, aku refleks ngambil senjataku. Aku langsung nyerang. Aku keserempet. Cuma keserempet. Tapi Benny kena empat. Radionya mati, jadi aku harus ninggalin dia di sana untuk cari pertolongan. Aku gak mau ninggalin Benny, tapi kalo nggak gitu, dia nggak bakalan selamat."

"Terima kasih bang. Terima kasih udah bawa abang kembali." Aku terisak. "Mudah mudahan abang bisa selamat."

"Ini bakal lama To. Pemulihan dari koma biasanya lama. Kamu harus sabar dan tabah." kata Sugiman.

"Saya ngerti bang, saya ngerti..."

===== ===== ===== =====
TERIMA KASIH

Telah membaca tulisan gw. Barangsiapa menemukan hal menarik, yang penting atau gak penting untuk dibagikan dari cerita ini sama gw, silahkan kirim email ke adjayanto.public@gmail.com. Dan kamu bakal dapet link ke cerita gw selanjutnya lebih cepat daripada di motnes.

1 komentar:

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...