creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Rabu, 05 Oktober 2011

Tentara Itu... #Special

Alarm berbunyi. 4.30 Pagi. Gw bangun dan langsung men-smash alarm di samping kasur. Ben masih memelukku dari belakang.

"Hoi, bangun bang..."

"Mmm… dikit lagi..."

Hhh… kebiasaan. Gw hanya tersenyum. Hidup berjalan normal seperti biasa. Tapi hari ini bukan hari biasa bagi keluarga… tunggu, gw udah termasuk kan? Gw nyengir lebar membayangkannya. Hari ini bukan hari biasa bagi keluarga militer seperti kami. Hari ini ini adalah hari lahir Tentara Nasional Indonesia. Ya hari ini 5 Oktober… sekian tahun lalu.

Meskipun gw tidak bisa diakui sebagai "pasangan sah" dari seorang anggota TNI, jadi gw gak bisa dapet tunjangan. Sepanjang yang gw tau, Ben sudah membentuk gw sebagai keluarga TNI. Dimana rasa takut kehilangan datang hampir tiap pagi. I kinda like it, it's like… having adrenalin rush every morning, maybe every hour, maybe every minutes. Sering gw membayangkan mendapat telepon Ben harus pergi ke suatu tempat, terluka… mati… hilang. Menakutkan. Tapi saat yang sama, gw pikir, gw siap menghadapi hal sepert itu.


Anyway, prajurit yang sedang tidur sambil ngorok itu harus dibangunkan. Kami tidur telanjang, kalau dingin pakai selimut, kalo nggak dingin ya… nggak pake apa apa. Gw cubit putingnya yang tegang karena pagi itu agak dingin.

"Adoooh! Sakit! Iya bangun ini bangun!", seketika Ben berteriak terbangun.

Gw nyengir sambil memandang penuh kemenangan. Ben terduduk sambil mengelus-elus putingnya.

"Kan cakiit..." Ben mengeluh seperti anak TK yang baru jatuh dari sepeda.

"Ya sini sama om dibikin gak sakit." gw menunduk, Ben kemudian mengunci gw dan merebahkan gw ke kasur. Perlahan gw jilat puting Ben yang masih tegang itu.

"Ohhh..." Ben melenguh.

"Gimana udah nggak sakit kan?" Gw bertanya.

"Nggak om, tapi tititku jadi keras om…" Ben masih menjawab dengan suara anak TKnya.

Gw hanya tertawa, "Mau dibikin lemes?"

"Iya om..." Ben menjawab.

Plak! Gw pukul pantat Ben. "Bangun! Nanti telat!"

"Aaah…" Ben merajuk.

"Bangun, bangun, bangun! Kumpul jam 6 kan? Upacaranya?" Aku bertanya.

"Jam 7, di Brigif." Ben menjawab.

Gw nyengir melihat Ben yang frustasi. Dengan malas seperti Zombie Ben keluar dari kasur dan menuju kamar mandi. Plak, kupukul lagi pantatnya.

"KDRT!" Ben berteriak.

Gw ketawa, Ben nyengir. Gw berjalan menuju ke dapur, menyalakan kompor. "Mau sarapan apa bang?"

"Nasi goreng ajalah!" Ben berteriak dari dalam kamar mandi.

So be it. Gw mengambil telur di dalam kulkas, lalu menceploknya. Gw lalu mengambil dua buah bawang bombay, beberapa potong daging dari freezer dan kacang polong. Gw lemparkan semua itu ke dalam penggorengan besar, menambahkan merica, garam dan cabai, giling yang selalu tersedia di dalam kulkas.

Gw mengambil dua potong roti buat sendiri, mengolesnya dengan mentega, dan memasukkannya ke toaster. Gw mengambil mayonnaise bikinan sendiri yang dibuat dari campuran kuning telur, minyak, bawang putih, garam dan merica.

Nasi goreng selesai di saat yang sama dengan roti bakar. Ben keluar dari kamar, baru memakai kaos dalamnya saja. Tapi sudah dengan celana lorengnya. Mendekati gw dan mencium gw di kepala.

"Hell… Kalo nggak ada kamu gajiku cuma habis buat beli sarapan pagi."

Gw tersenyum. "Duduklah." Gw menyajikan nasi gorengnya, menuangkan susu cokelat dari kulkas dan mensetnya semua di meja. "Enjoy".

"Mmm… thanks..." Ben memasukkan sendokan pertama nasi goreng ke mulutnya.

"So, apa yang kita punya untuk hari ini, selain upacara?" Gw bertanya pada Ben.

"Ada beberapa lomba… di Brigif. Aku nggak ikut. Cuma jadi supporter aja. Voli, Tarik tambang, Tinju..."

"... Tinju?" Mata gw melebar, begitu juga dengan bibir gw.

"Hey hey hey… " Ben nyengir, "… nggak akan sayang. Nggak akan. Siliwangi Boxing Camp, ngirim dua petinju ke TVRI Jakarta senin depan. Nggak akan terjadi disini."

"Yah… cuma dari tipi." Gw tetep nyengir.

"Kenapa…? kecewa?" Seringai Ben makin lebar.

"Engga..." Aku menunduk sambil tetep nyengir.

Ben ketawa, "Kamu ngingetin saya sama Agus kalo ngomong gitu."

"Ya… dimana dia sekarang?" Gw tau Agus, dia… sosok kontroversial, sebut saja begitu.

"Gak tau, katanya di Jakarta." Ben mengunyah nasi gorengnya lagi. "Oh iya, Bu Bos minta kamu datang ke klub jam sembilanan."

"Ngapain?" Gw bertanya kebingungan. Bu Bos adalah istilah yang kami gunakan untuk istri dari komandan Ben di kantor. Dan klub, maksudnya tempat dimana ibu-ibu persit ngumpul.

"Nggak tau." Ben menjawab pendek dan menyuapkan nasi goreng terakhirnya ke mulut. Ben lalu meminum susu coklatnya, lalu menggilas semuanya dengan segelas air putih. Gw merapikan piringnya. dan menempatkan semuanya ke bak cuci. Gw pikir, nyucinya nanti aja sepulang dari klub.

Ben keluar dengan seragam upacaranya, dengan sisa sedikit lagi aksesori, seperti Baret. Gw hanya bisa memandang terkagum padanya.

"Kamu tau, tiap kamu pakai loreng. Saya…" Gw nggak bisa mengeluarkan kata kata lagi.

Ben mendekati gw, dan kemudian menyentuhkan bibirnya ke bibir gw. Kami berciuman. Lebih  lama dari biasanya. Kontol gw semakin menegang. "… Kamu tegang? Terangsang?" ucap Ben di sela sela ciumannya.

"Ya… God, you're beautiful..." Gw mengelus rambutnya yang pendek dan sudah dilapisi dengan gel itu.

"Berarti tiap hari aku pergi kerja, kamu terangsang?" Ben bertanya. Gw nyengir malu. Ben melepaskan pelukan lalu memasang baretnya. "Gimana?", sambil berkacak pinggang Ben memamerkan tubuhnya yang berbalut seragam kepada gw.

Gw bersiul. "Perfect."

"Aku berangkat dulu." Ben mencium dahiku. Dan segera berangkat dengan motornya yang terparkir di teras.

Seharian itu cukup heboh. Bu Bos ternyata memintaku untuk menggantikan Ajudan Bos. Bu Bos terjebak di salon sedang sanggulan karena sang Ajudan masih sibuk memuaskan diri dengan Bosnya. Kata Bu Bos sih begitu. Gw ketawa aja. Setelah 'menaruh' Bu Bos di posisinyam gw masih diminta membantu membawakan peralatan ini itu di Klub Persit Brigif.

Gw menikmati hari itu. Gw ketemu Ben selesai upacara, menikmati makan siang bersama prajurit lainnya. Dam setelah semuanya selesai. Gw berboncengan dengan Ben ke rumah.

"Ahh… home sweet home..." Gw dan Ben turun dari motor. Gw segera memeriksa mailbox, dan menemukan sepucuk surat disitu. Di baris asal, hanya tertulis Fajar. Tak disebutkan siapa dan dimana.

Kami berdua masuk ke dalam rumah. Baru saja mau refreshing dan menyiapkan makan malam. Pintu diketuk di depan. Ajudan Bos membawa sekotak… eee… sekotak besar makanan. Ajudan hanya bilang, ini dari Bu Bos. Gw mengucapkan terima kasih.

"Makan malam gratiiis." Gw berteriak.

Kami melanjutkan sore itu dengan mandi bareng. Sentuhan erotis di sana sini membuat aku semakin tegang. Gw belum ngeseks hari ini, dan kemarin, dan kemarinnya lagi. I'm due, tapi makanan dari Bu Bos mengundang banget.

Aku mengeluarkan piring dan membuka kotak makanan dari Bu Bos. Seonggok besar nasi kuning, lengkap dengan lauk pauknya. Khas Persit.

"Apaan yang dikirim Bu Bos?" Ben bertanya sambil handukan. Hanya pakai celana pendek banget wana hijau tentara, tanpa atasan, Ben berjalan santai ke ruang makan.

"Nasi kuning complete edition." Gw menjawab.

Dalam waktu sejam sebagian besar nasi kuning itu sudah berpindah tempat ke perut kami berdua. Dan setelah Ben mencuci piring, dia bergabung dengan gw nonton TV di sofa.

"Oh iya, tadi di mailbox ada surat dari… Fajar. Abang kenal?" Gw bertanya.

"Fajar? Ah ya! Mana?" Ben menjawab.

Gw menunjuk ke meja. Di samping telepon. Ben segera mengambil surat itu. Merobeknya.

"Matikan TV-nya."

Gw mematikan TV.

"Mari kita baca, kamu bakal suka surat dari Fajar." Dan Ben mulai membaca.

Hai Ben!

Apa kabar. Sudah agak lama aku nggak ngirim surat sama kamu. Aku set surat ini supaya datang tepat pas tanggal 5. Aku bilang ke tukang posnya sendiri begitu. Kasih tau aku kalo surat ini datang terlambat ya!

Aku sekarang berada di pulau pulau pinggiran Ben! Indah banget! Lokasinya sekitaran Sulawesi Utara. Kamu suatu saat harus kesini. Cuma ada markas dan mercusuar. Lautnya Biru dan jernih banget. Kalau kamu nyelam, ikannya banyak dan terumbu karangnya bagus banget. Kapan kamu mau kesini? Apa aku perlu rusakin satu radio atau satu hp satelit supaya kamu mau datang? Oh iya, bawa juga itu si Yanto. Masih sama dia kan? Hebat kamu sudah bisa menjalin hubungan. Aku disini nggak bisa apa apa, cuma ada 20 personel disini.

Aku kemarin habis diputusin pacarku si Irma. kayaknya dia nemu orang lain di darat. Nggak tahulah. Kayak aku butuh dia aja. Masih banyak cewek lain yang mau ngisep dan aku entot. Bahkan kalo ke darat, siapa sih yang bisa nahan kontol gede aku ini? Boleh donk nyombong dikit. Tapi jangan khawatir, disini kita saling menjaga, dan… "menjaga" hal-hal lain. Kamu tau lah.

Rencananya aku balik ke Surabaya pas deket Tahun Baru. Kamu bisa ke Surabaya? Atau aku saja yang ke Bandung? Sudah lama kali aku nggak ketemu kau. Kangen aku. Bantuin lah aku cari cewek Bandung. Katanya cantik cantik kan?

Okelah Benny, kapan kapan kita sambung lagi ya. Balas ya!

Tertanda. Sertu Fajar Taruna.

"Kedengerannya seperti petualangan yang menarik." Gw tersenyum.

"Iya, sampai kamu ketemu kapal MILF dari Filipina itu." Ben melipat suratnya dan memasukkannya kembali ke amplop.

Gw mencium Ben. "Saya bersyukur kamu masih disini dengan saya. Saya siap kalau kamu pergi kemanapun, kapan saja. Itu resiko yang akan saya hadapi."

"Dan saat aku pulang, aku bahagia aku punya kamu di sini. Sesuatu banget."

"Alhamdulilah Yah..." Gw nyengir.

Ben beranjak dari sofa. Malam belum larut. Masih jam sembilan kurang sedikit. Tapi Ben sudah menarikku ke kasur.

"Kamu punya utang sama saya." Ben langsung menyerang leher gw dengan ciumannya. Dengan kuat dia mencupang leher gw. Gw langsung lemas dan segera merangkul tubuhnya.

"Bang..."

"Ya sayang...?"

"Terima kasih… sudah mau melindungi negara ini."

"Itu pekerjaanku Yanto… Itu pekerjaanku."

"I love you..."

"I Love you too..."

Malam di Hari Jadi TNI itu, kami habiskan dengan bercinta. Gw menyerah dengan semua cinta yang diberikannya, kepada gw, kepada teman-teman di kampus gw yang tidak tahu apa apa dan cuma sibuk berdemo, kepada presiden yang sibuk membikin lagu, kepada para politisi di senayan yang sibuk menyerang satu sama lain, kepada siapa saja warga negara Republik ini.

Malam itu, gw membayar bagian gw, harga gw, untuk kebebasan dan kemerdekaan negeri ini. Langsung kepada yang berhak. Sersan Satu Bernhard Napitupulu, Infanteri.

Harga yang adil, harga yang wajar.

Bahkan, setelah tiga kali orgasme, di ujung malam itu, sambil menatap wajah Ben yang tertidur pulas, mencium jidatnya, bau badannya, keringatnya, dan sambil merapatkan kepalaku ke dada kekarnya, yang disambut pelukan Ben ke punggungku, gw berpikir, bisakah gw membayar lebih?

Jika bisa, aku sangat bahagia jika bisa membayar lebih, dan lebih, dan lebih.

5 komentar:

  1. keren,...keep writing, bro...:)

    BalasHapus
  2. waduh, kok langsung epilog gini....
    klimaksnya dilewat....

    keep writing bro.....

    btw, gw nulis keyword "tentara itu"
    dan page ini berada di posisi 1 + 2...
    :D

    BalasHapus
  3. @baba,
    ini edisi #spesial, bukan bagian dari timeline utama Tentara Itu. Dan yang jelas letaknya TIDAK setelah Bab 4 atau Bab 5.

    :D

    BalasHapus
  4. mulai lagi kan bikin penasaran... kok gw baru sempet baca si Special ini. Apa kabar dirimu? Gimana lanjutannya? Akankah tiba dalam waktu dekat ini?

    BalasHapus
  5. gawd..... glad i found your link here...
    great writing you have here...
    although kinda set me back from the the flow I read in MOTN, I enjoyed it just the same...
    thanx, man...
    I guess, we all are in vain waiting for the story of ben & yanto...
    :-)

    BalasHapus

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...