creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Minggu, 01 Januari 2012

Pulau Terluar

Dua Marinir berjalan di tepian pantai. Ransel di punggung mereka berisi makanan dan minuman. Senapan mereka tak terkokang.

"Pertama datang kesini, aku pikir ini akhir karir."

"Sekarang?"

"Nggak peduli."

Marinir kedua tersenyum, kemudian mengenggam tangan marinir yang pertama. Mereka berjalan bergandengan tangan semakin jauh dari markas menyusuri pantai yang panjang dan biru. nyaris tak terjamah.

Sampai di sebuah batuan, mereka mendakinya, lalu turun ke sebuah ceruk teluk kecil, dimana mereka biasa berkemah. Pasirnya putih, dilindungi beberapa pohon yang rindang. Pantainya dangkal dan tidak dalam, berenang sejauh puluhan meter dari garis pantainya tidak membahayakan. Tidak ada karang di bagian pulau ini. Kalau kamu berenang lebih jauh lagi, dan menggunakan snorkel, kamu bisa melihat pasir mulai berubah menjadi karang. Dan ikan guppy bersahabat dengan anemon di sekitarnya, begitu pula gerombolan ikan tuna, dan ikan sardin.

Di kejauhan terlihat mercusuar batas negara Indonesia dengan lautan lepas Samudera Hindia. Dua marinir berjaga di mercusuar itu setiap harinya. Tidak diam, hanya untuk menyalakan dan mematikan lampu, dan terkadang mengganti bendera.

"Bangun tendanya sekarang?" Marinir kedua bertanya ke marinir pertama.

"Iya, aku ambil kayu untuk api." Marinir pertama menjawab

Teluk ini menjadi tempat rekreasi para marinir yang berdinas di pulau ini. Mereka kesini menghabiskan waktu untuk beristirahat dan kabur dari rutinitas patroli. Kadang sendiri, kadang berpasangan, kadang beramai-ramai. Satu hal yang mereka setuju, teluk ini sangat cocok untuk bulan madu para petualang.

Kadang para marinir yang jenuh dengan markas tidur disini. Di alam terbuka. Untuk kebutuhan itu, mereka menyiapkan kayu bakar, siapapun yang memakainya, harap isi ulang.

Marinir pertama mengambil beberapa batang kayu, menyusunnya jadi sebuah konfigurasi untuk api dapur. Marinir kedua mendirikan tenda dan menggelar kantong tidur di dalam tenda. Mengeluarkan kastrol nasi, dan mulai mencampurkan berbagai bahan untuk membuat nasi liwet.

"Buat buat berempat."

"Ada yang nyusul?"

"Chief," komandan mereka di pulau itu, "sama Erik." teman tidurnya.

"Oh, mereka nginep disini juga?" Marinir kedua berharap mereka tidak menginap disitu. Marinir kedua ingin menghabiskan malam ini hanya bersama marinir pertama.

"Nggak tau, kayaknya enggak." Marinir pertama tidak begitu yakin. "Surat tadi katanya datang, dan…  transportasi minta laporan, logistik, semuanya dihitung malam ini. Chief mungkin harus balik lagi tanda tangan."

"Mudah-mudahan mereka berdua agak sedikit sibuk."

"Yea..." Marinir pertama memeluk marinir kedua dari belakang. Mencium tengkuknya. "… jadi aku bisa…," marinir pertama mencium lagi daerah sensitif sekitar leher marinir kedua, terus melingkar, ke arah depan, "… sepanjang malam."

"Oh..." marinir kedua terduduk pasrah menikmati ciuman dari bibir hangat marinir pertama. Sangat nikmat.

"Apinya sudah siap, masak nasinya..." Cium lagi, kali ini di bibir. "… terus, entot aku."

"Rencana yang bagus tampaknya sersan..." marinir kedua balas mencium marinir pertama.

Nasi liwet dalam kastrol ditaruh ke atas perapian, telepon genggam yang tak bisa menangkap sinyal digunakan sebagai timer. Tigapuluh menit diatas api, lanjut limabelas menit  pengasapan di pasir. Nasi liwet ini akan menjadi yang terenak.

Matahari mulai terbenam, dan kedua marinir mulai melepas seragam lawannya, sambil saling mencium bibir satu dengan yang lain, leher, dada, lengan, apapun bagian yang bisa dicium. marinir pertama mencium kuat marinir kedua, memainkan putingnya, dan marinir kedua hanya bisa melenguh.

Kaki mereka menyentuh garis pantai. Air mulai membasahi kaki mereka. Perlahan, marinir pertama mulai membasuh badan marinir kedua dengan air laut. Dan sebaliknya. Mereka menyukai rasa asin laut yang menempel di tubuh pasangan mereka. Rasa asin itu berbeda dengan rasa asin pantai yang biasanya. Asin yang jernih, tidak amis. Hanya asin.

Marinir kedua merebahkan marinir pertama di atas pasir yang setengah basah, dan kemudian menindihnya. Marinir pertama membuka kakinya, memperlihatkan kontolnya yang sudah berdiri tegang, dan lubang pantatnya yang mengembang dan mengempis, sibuk mengantisipasi kontol marinir kedua yang akan segera mengentotinya.

"Isap dulu sayang..." dan marinir pertama mengisap kontol marinir kedua. Menyelomotinya dengan air ludahnya, membuatnya menjadi licin. Jari jemari marinir kedua mulai membuka lobang pantat marinir pertama, dengan lembut marinir kedua memasukkan jari-jarinya satu demi satu. Pelan-pelan keluar masuk.

"Mmmh..."

Marinir pertama hanya bisa melenguh, mulutnya penuh dengan kontol marinir kedua. Lobang pantat marinir pertama semakin bergairah dirangsang oleh jari-jari marinir kedua. Lobangnya mengembang dan mengempis dan menghisap jari-jari marinir kedua. Lobang itu sudah sangat siap untuk dientot.

Marinir kedua melepaskan kontolnya dari mulut marinir pertama, kontol itu sudah sangat basah dan tegang. Begitu pula dengan lobang pantat marinir pertama, basah oleh cairan pantat yang keluar melicinkan jalan. Marinir kedua mengarahkan kontolnya ke lobang pantat marinir pertama, dan dengan satu dorongan keras, memasukkan semuanya ke lobang pantat yang sempit dan hangat itu.

"Aaaaah!" Marinir pertama berteriak keras, lobang pantatnya mengejan berusaha mengkompromikan kontol marinir kedua yang masuk dengan gagah. Marinir kedua tidak bergerak untuk beberapa waktu hingga lobang pantat marinir pertama mulai terasa tenang dan rileks. Kemudian entotan dimulai, pelan dan lambat. Marinir pertama meraih leher marinir kedua, menciumnya dengan lembut, "thanks..."

Marinir kedua membawa marinir pertama ke surga kenikmatan. Entotannya bervariasi. Tak selalu lambat, tak selalu cepat. Ciuman menambah intensitas kenikmatannya. Tiap berganti posisi, bagian tubuh yang terlipat atau ter-renggang membuat syaraf menjadi sensitif dengan sentuhan sentuhan.

Membungkuk seperti anjing, marinir kedua mengentoti marinir pertama sambil menjilati punggungnya yang berkeringat dengan jilatan jilatan tipis. Marinir pertama melenguh keras rasa geli yang nikmat itu tidak bisa ditahannya lagi. Marinir pertama ingin meledak bersama rasa nikmatnya. Sementara orgasme yang dibangun dikontrol dengan baik oleh marinir kedua.

Lalu waktunya tiba, marinir kedua melepaskan kontrol intensitasnya, mengentoti marinir kedua dengan kecepatan tinggi, menggosok prostatnya hingga syarafnya bekerja dengan sangat luar biasa. Dan kemudian, "Oooooooh raaaaaaaaaaaaaaagggh!!!!" marinir pertama menembakkan pejuhnya tinggi ke langit, sekitar dua meter, sebelum jatuh kembali ke tubuh kedua marinir yang berkeringat. Dua semprotan, tiga, empat, lima… delapan semprotan.

Jepitan lobang pantat akibat orgasme marinir pertama mengakibatkan marinir kedua tidak bisa menahan lagi lebih lama orgasmenya. Marinir kedua menembakkan pejuhnya sedalam mungkin ke tubuh marinir pertama. Kontolnya berdenyut keras di dalam lobang pantat marinir pertama sambil terus membuang pejuhnya. Dinding lobang pantat marinir pertama semakin licin, semakin nikmat bagi marinir kedua untuk mengentoti marinir pertama.

Jatuh tertelungkup, marinir kedua diatas marinir pertama. Kemudian saling mencium, dan mendengarkan detak jantung masing masing. Keduanya berbaring di atas pasir, telanjang bulat. Matahari sudah terbenam dari tadi. Hanya tersisa cahaya api, bulan dan cahaya redup dari mercusuar yang mengarah ke laut.


Suara tepuk tangan terdengar dari atas batu.

"Bravo...!"

Marinir pertama dan kedua terperanjat, tapi tak berusaha menutupi kontol mereka, atau juga pejuh yang menempel di tubuh mereka.

"Oh… come on Chief! Udah berapa lama nonton di sana?" Marinir kedua setengah berteriak ke Chief.

"Lumayan, sejak… ya… sejak kamu teriak 'yah, sodok terus, kontol kamu enak banget', pokoknya pas kamu nungging tadi." sambil menunjuk marinir pertama.

Ketiganya tertawa terbahak. Tak ada rasa malu diantara mereka. Sama sama laki-laki, sama sama berkebutuhan. Chief, umur 43, bercerai dua tahun lalu. Istrinya selingkuh dengan perwira lain karena Chief nggak jauh beda sama bang Thoyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran nggak pulang-pulang. Chief kadang kadang ke peradaban, cuma nggak pas lebaran.

"Mana Erik?" Marinir pertama bertanya ke chief, sambil merendamkan tubuhnya ke laut, membasuh pejuh yang menempel, sambil mengusap tubuh marinir kedua.

"Bentar lagi nyusul, ada kerja kertas sedikit yang harus dibawa sama transportasi malam ini buat ke mabes."

"Surat tugas Chief?" Kata marinir pertama sambil memakai celana pendeknya.

Marinir kedua mengaduk nasi liwet yang sudah matang, menyobek daun pisang, dan membersihkannya.

"Yap, dan keinginan kalian terkabul. Tur kalian di pulau ini diperpanjang 6 bulan."

"Thanks Chief."

"Tapi tetep saya heran, kok kalian mau tinggal terus di pulau ini? Kalian udah disini… berapa satu tahun?"

"Tiga tur chief, satu tahun setengah." Marinir pertama menjawab.

"Tak ada keluarga di peradaban sana? Atau apa? Kok betah banget." Chief bertanya. "sesekali kalian butuh peradaban lah."

"Untuk apa Chief? Hidup disini menyenangkan." Marinir pertama mencium marinir kedua di keningnya. "Nggak perlu pusing soal uang, pekerjaan sudah ada, dan aku punya… " meraba selangkangan marinir kedua, "...ini."

"Hahaha, kalian masih muda, baru 22 tahun. Hidup kan masih panjang."

"Suatu saat kami pasti ke peradaban Chief, tapi nggak sekarang. Peradaban sekarang busuk banget kan? Konflik yang nggak penting dimana mana, masyarakat saling menjatuhkan untuk ya… taulah Chief, hal hal yang sangat nggak penting. Presiden kita yang seperti itu… diam saja, ngegitar,"

"Terima kasih tuhan kita ada di pulau ini jadi kita bisa bicara politik bebas, eh?" Chief tersenyum.

"Begitulah Chief..." Marinir pertama menoleh ke arah belakang chief. "Hai Erik."

"Hei." Erik meraih kantongnya dan mengambil pulpen, "paperwork. Kalian bener-bener mau tinggal disini seumur hidup?"

"Nggak, kita rencananya empat tur sekali kita akan ke peradaban. Cuma untuk adaptasi aja."

"Oh..." Erik segera mengambil surat-surat yang sudah ditandatangani oleh Chief dan marinir pertama.

"Makan dulu. Nginap disini Chief? Erik?", marinir kedua bertanya.

"Nah… Paperwork masih ada beberapa, dan… Chief harus ikut ke peradaban malam ini untuk logistik." jawab Erik

"I should?" Chief bertanya balik ke Erik."

"Ya Chief, berasnya kurang 4 karung, dan mereka tanya soal kebutuhan solar untuk genset  disini."

"Bukannya waktu itu mereka sudah setuju kita pakai panel surya buat lampu?"

"Kayaknya Jakarta intervensi Chief."

"Asem..."


Di tempat terpencil, waktu berjalan lebih lambat, begitu juga di pulau terluar. Keempat marinir berbaring sambil memeluk pasangannya masing-masing, melihat bintang di langit.

"Oh iya, lupa. Ini paket iPod dan speakernya." Erik meraih tasnya lagi dan melemparkan dua kotak kecil ke marinir kedua.

"Sweeeet! Thanks Erik." Marinir kedua dengan semangat membuka iPod barunya.

"Kamu beli iPod?" tanya marinir pertama.

"Ya, kapasitas musiknya jauh lebih besar, aku minta temanku di Bandung buat ngisi ini sebelum dikirim ke sini."

"Classic? 160GB, masih ada ya?" tanya marinir pertama lagi

"Ada, tapi pre-order sekitar sebulan."

"Speakernya bisa jalan dengan baterai?" tanya Chief.

"Bisa, suaranya cukup keras. Cukuplah karena disini nggak ada suara apapun selain ombak." marinir kedua memilih sebuah lagu klasik dari iPodnya, Konser Piano no. 21, dari Mozart. "Care to dance, sergeant?"

Marinir pertama meraih ajakan tangan marinir kedua. Dan keduanya langsung berputar dalam irama dansa waltz yang lembut. Erik dan Chief duduk memperhatikan pasangan itu. Satu lagu selesai, keduanya merapat, dan kembali berciuman. Lagu berikutnya mengalun, "If You Leave Me Now" dari grup band Chicago mengalir.

Marinir pertama mendekap marinir kedua. "Aku nggak akan pernah meninggalkan kamu."

Air mata Chief menetes melihat pasangan itu berdansa. "Errr… kami kembali ke markas sekarang, kalau sudah waktunya, akan ada Flare dua kali, merah, sepuluh detik, lalu putih."

"Ya Chief, thanks." tanpa menoleh, marinir kedua menjawab.

Chief dan Erik meninggalkan marinir pertama dan kedua di teluk, keduanya duduk menikmati musik dari iPod yang disambung ke speaker.

"Jadi siapa yang ngisi iPod ini?"

Marinir kedua tidak menjawab, marinir pertama sibuk memutar click wheel iPod Classic itu dan melihat lihat lagu apa yang ada di sana.

"Nice selection." sambil memilih sebuah lagu lama, Brad Kane dan Lea Salonga, We Could Be In Love.

"Thanks."

Mereka duduk berdua saling memeluk, meneguk sedikit demi sedikit sirup yang dibawa dari markas.

Syuuuuuut… blar! Seketika langit menjadi terang berwarna merah.

Kurang lebih sepuluh detik kemudian, terdengar lagi suara yang sama… Syuuuuuuut blar! Dan kali ini langit merah bercampur dengan putih. Dua buah Flare ditembakkan menandakan pergantian tahun.

Flare turun perlahan ke arah laut sambil terus meredup selama satu menit lebih.

"Selamat tahun baru… dan selamat ulang tahun."

Sersan Jack Watimenna dari Maluku, membuka sebuah kotak kecil yang disimpannya di  dalam tenda, dan menyelipkan sebuah cincin ke jari manis Sersan Fajar Taruna

"Selamat tahun baru, Jack."

Secarik kain dibuka dari bagian dalam topi Sersan Fajar Taruna. Sebuah cincin dikeluarkan darinya dan diselipkan ke jari manis Sersan Jack Watimenna. Kedua marinir berdiri saling mendekap dan berciuman lembut. Mengucapkan kata cinta satu dengan lainnya.

Perlahan keduanya masuk ke dalam tenda yang diterangi cahaya senter, sementara iPod milik Fajar Taruna masih mengalunkan lagu terakhirnya sebelum mati secara otomatis.

...You are "my everything"
Nothing your heart won't bring
My life is yours alone, the only love I've ever known.
Your spirit pulls me through when nothing else will do

Every night I pray, on bended knee
That you will always be "my everything"...

// 98 Degrees – My Everything

2 komentar:

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...