creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Jumat, 19 Agustus 2011

Tentara Itu... #2

Can this be true
Tell me can this be real
How can I put into words what I feel

My life was complete
I thought I was whole
Why do I feel like i'm losing control

Never thought that love could feel like this
And you change my world with just one kiss
How can it be there right here with me
There's and angel, it is miracle

God Must Have Spent, A Little More Time in You
98 Degrees

Gw berbaring di kasur busa, memandang Ben yang tidur dengan damainya. Ya tuhan, gw bahagia banget. Gw dan Ben mengekspresikan apa yang kita bisa dari sejak sore tadi sampai malam. Bibirnya mencium gw dengan lembut, kemudian pelan-pelan membawa gw ke tempat tidur, menindihku.

Beban tubuhnya yang kekar, ototnya yang menggesek semua syaraf di permukaan kulit gw. Gw bergetar. Berkali kali Ben mencium gw, pindah ke leher, pindah ke dada, kembali ke bibir. Dia seperti orang yang sudah sangat lama nggak nge-seks. Dan gw? Gw apalagi, gw belum pernah disentuh seperti itu. Gw juga lapar. Serangan ini cuma bisa membuat gw dan Ben melenguh keras.

Ben melepaskan kaosnya dan gw melihat ototnya yang kekar, kali ini tidak ada air ataupun sisa kaporit di mata yang menghalangi, semuanya jelas di remang lampu kamar yang memang kurang terang. Gw raba putingnya dan menjilatnya, Ben melenguh keras dan membiarkan gw menjilati, menggigiti putingnya yang membesar dan menegang, keduanya. Ben mencium dahi gw sambil menjambak-jambak pelan rambut. Kita memang sedang dimabuk seks.


"Aku mau kamu buat selamanya."

Gw terpana, apa ini semacam lamaran Ben? Gw tatap matanya dan menemukan sesuatu yang berbeda di pancarannya. Sesuatu yang membuat gw jatuh hati.

"Nggak ada yang lebih baik dari itu kan?"

Seks itu pun berlanjut. Malam itu juga Ben menggagahi gw, dengan kontol sepanjang 17cm. Gw hanya bisa pasrah menerima tumbukan demi tumbukan kontolnya yang panas. Ben mengentoti gw sambil menciumi, menggigit semua bagian tubuhku. Semua berakhir dengan muncratnya peju Ben di dalam pantat gw dan kontolku di dada Ben.

Masih lemes, gw membersihkan dada Ben yang kekar dengan lidahku dari peju. Kemudian kami berciuman, lama. Kami bertukar peju di dalam ciuman. Dan kayaknya nggak ada yang peduli apa itu menjijikkan atau enggak. Ben dan gw suka itu. Gw pun tertidur di pelukan Ben. Mengendus bau tubuhnya, sambil meraba dadanya. Gw merasa damai.

"Kenapa?" Ben terbangun, "Ada yang salah?"

Mata gw memang basah. "Nggak... saya seneng banget."

Ben melenguh. "Sini dipeluk lagi." Dan gw tertidur lagi.

Pagi di Cimahi memang tidak sedingin di Bandung. Cahaya matahari mulai merayap ke dalam kamar. Gw terbangun masih di pelukan Ben, dan gw mencium dahinya.

"Mmm... emang enak kalau bangun pagi dipeluk sama pasangan."

Kami berciuman lagi. Kupegang kontol Ben yang mengeras. Mana ada sih kontol cowok yang gak keras pagi-pagi? Malah kalo nggak keras bisa dikatain impoten. Gw pun merunduk dan memasukkan kontolnya ke mulut gw. Gw isep kontolnya dan dia melenguh. Ben pun muter di kasur sampai kontol gw berhadapan langsung ke mukanya. Dan tanpa permisi dia ngisep kontol gw. Kita 69.

"Uhh... isepan kamu enak Ben."

"Mmmm..." Ben hanya melenguh.

"Isep yang dalem..."

Rangsangan lidah Ben terlalu kuat, gw berusaha memberikan yang sama dan setara untuk kontol Ben.

"Oh... To... Dikit lagi muncrat..." Ben berteriak tertahan.

Dan... CROTTTT... Ben pun memuncratkan peju paginya ke mulut gw, dan gw telan seperti bayi yang lagi minum susu. Di saat yang sama gw merasa kontol gw sudah terlalu payah buat nahan peju dan CROOTTTT... peju gw muncrat ke mulut Bernhard.

Ben membalik lagi dan kemudian kita ciuman, membagi sisa sisa peju yang ada di mulut.

"Selamat pagi sayang."

"Pagi..."

"Tidurnya enak?"

"Nggak pernah lebih baik. Saya harap ini selamanya Ben."

"Jangan berharap." Ben tersenyum, "Jadikan kenyataan. Kenyataan kalau kamu adalah pasangan aku buat selamanya. Aku nggak mau kehilangan kamu."

"Saya juga nggak mau. Jangan sampe, amit-amit."

Jangan salah, yang gw butuhkan sekarang cuma cinta. Di satu sisi memang gw suka dengan tentara. Tapi di dalam pikiran gw, mereka adalah kaum yang nggak bisa disentuh oleh orang macam gw. Kerjaannya selalu di dalam markas, keluar cuma buat bobo, lalu balik lagi. Makanpun di dalam.

Keluar dapet gaji, beli atau tuker tambah hape ke Bandung Electronic Center, lalu balik lagi ke markas sambil pamer. Kalaupun ada misi tertentu nyari pelampiasan gw tahu diri. Mereka kebanyakan suka cewek. Yang suka sama cowok cuma sedikit, dan sayangnya lagi, mereka lebih sering ngedapetin pasangannya di dalem markas.

Lalu kesempatan buat gw mana? Jadilah gw kadang beredar di dalem jantung kegiatan mereka. Kolam renang itu misalnya, kadang kalo ada tentara yang renang gw berharap bisa ngedeketin mereka. Seenggaknya ngajak ngobrol lah. Tapi mereka kebanyakan dateng berdua. Pasangan? Teman?

Konteks pertemanan di tentara memang jauh lebih dalam daripada yang di luar tentara. Bayangin mereka tidur bareng, kerja bareng, keringetan bareng, mandi bareng, hahah hihih bareng. Mereka lebih erat daripada surat sama perangko. Memisahkan mereka bisa dianggap pengkhianatan dari salah satunya. Dan dalam kasus yang ekstrim, bisa berakhir tragis.

Gw gak mau.

Dan sekarang, tanpa hujan angin badai petir, gw berada di pelukan seorang tentara, bagian dari Angkatan Darat. Gw bersyukur kepada tuhan.

"Tau nggak kamu, aku merasa ini pemberian tuhan yang paling membuat gw bahagia. Umur masih 22, pindah ke kota yang dari dulu aku pengen tinggali, dan sekarang komplit dengan kamu."

Muka gw menghangat, "Masa sih?"

"Iya, aku pikir. Ini mukjizat tuhan. Pertama kali aku dipindah dari Akmil Secaba itu cuma di kantor di kota kecil nyaris pedalamannya Yogya, yang aku pikir, aku nggak bisa kemana mana. Nggak bisa menikmati hidup. Dari dulu aku pengen dipindah ke Bandung."

"Kenapa? Bandung bukannya hampir sama kayak Yogya."

"Beda, Yogya kota dan Bandung kota beda banget. Yogya memang indah, budayanya luar biasa. Aku suka tinggal disana. Aku suka ke kota. Tapi saat kenyataan datang dan aku kembali kerja dan latihan, semuanya beda lagi. Aku merasa jadi sendiri. Aku punya teman di Akademi, saat penugasan dia dikirim ke Pontianak. Aku takut aku dikirim ke tempat yang lebih jauh lagi, meskipun aku tau itu sudah tugas, tapi rasa takut boleh ada kan?"

Gw mencium Ben. "Boleh, siapapun boleh kok merasa takut. Walaupun kamu sudah belajar ngebunuh orang dengan tangan kosong, kamu tetep boleh ngerasa takut."

"Ternyata di desa itu aku cuma sebentar, karena kantor Koramil yang disana memang sudah mau direnovasi dan semua personilnya bakal diganti yang baru. Jadilah aku terdampar di Bandung. di Pusdikhub, buat belajar lagi."

"Tau nggak, saya percaya karma," gw ngomong sambil berbaring menatap matanya. "Kalau kamu nggak dilempar ke desa itu, kamu nggak bakalan kesini kan?"

"Iya." Ben mengecup hidungku. "... dan aku nggak bisa ketemu kamu."

Kami berbaring lama, saling menatap, saling mencium, saling mengusap pipi, sampai... "krewekkk...", Ben meringis.

"Hehehe... aku laper. Ayo makan."

Kami pergi ke warung terdekat, lalu ngebungkus 3 nasi. Kata Ben yang satu buat tambahan. Kembali ke kosan Ben kami langsung menghabiskan nasi yang kami beli itu. Nggak ada sampai 20 menit, ketiga bungkus nasi itu sudah masuk ke perut kami.

Selesai makan, cuci tangan, beres-beres peralatan. Kami fokus lagi ke tempat tidur. Bersandar di tembok, gw duduk menyender di dada Ben, sambil Ben mengelus-elus rambutku.

"Jadi... kamu 18 tahun? Udah lulus SMA kan?"

"Udah dong. Kemarin baru lulus. Saya emang masuknya setahun lebih awal, tapi umur rata rata sama temen-temen nyaris sama kok."

"Oh, pantesan. Takutnya kamu baru mulai kelas 3."

"Hahaha... udah lulus kok bang. Kalo Bang Ben emang umur berapa?"

"Abang masih 22. Januari nanti 23."

Lalu diam... diam yang nyaman, dengan gw mengelus paha bang Ben, dan sesekali bang Ben mengecup kening gw. Bang Ben dan gw masih muda. Belum tahu gimana caranya hidup. Bang Ben sendiri baru aja keluar dari Akademi Militer, dan gw baru aja lulus SMA. Gw takut hubungan ini nggak bakalan tahan lama.

Bagaimana kalau bang Ben ditugaskan ke luar pulau? Bagaimana kalau bang Ben dipindah ke daerah terpencil? Bagaimana kalau gw kuliah di luar Bandung? Emang gw harus kuliah? Bukannya gw udah punya yang gw inginkan yaitu bang Ben sebagai pasangan hidup gw?

"Ada apa To?"

Kekhawatiran itu kayaknya tercetak di raut muka gw, "nggak apa apa bang."

"Boong, kalo kamu nggak khawatir tentang sesuatu mukamu nggak bakal seperti itu. Ayo ngomong."

"Malu ah." aku merunduk.

"Hey, Yanto. Inget abang sudah mengambil kamu sebagai pasangan. Semua masalah harus dibagi sama abang. Kalau kamu ada masalah, bilang ke abang. Kalau abang ada masalah, abang bilang ke kamu. Abang gak boleh bagi rahasia negara sama kamu. Tapi untuk masalah lain, ngomong sama abang. Ok? Kamu percaya abang kan?"

Gw merah lagi. Harusnya gw tau kalo cinta dan percaya dateng satu paket. Dilarang keras mencintai tanpa mempercayai.

"Bang..." aku hanya berbisik, hanpir gak kedengeran.

"Ya..."

"Apa aku pantes buat abang?"

"Kenapa masih tanya lagi? Kalau kamu nggak pantes buat abang, di stasiun kemarin abang nggak akan ngajak kamu naik kereta bareng, minta abang renang bareng sama kamu, ke kosan bareng, dan abang nggak bakalan dapet..." Ben mengelus lobang pantatku " ... itu.

Aku menggelinjang. "Aku takut ini cuma sesaat aja bang. Cuma rasa nafsu aja."

"Emang itu yang kau rasakan?" Ben menarik tangannya dan menatap mata gw, "Pas sama abang kemarin, kita ngentot bareng, kita tidur bareng, cuma itu yang kamu rasa?"

Gw hanya bisa nunduk. Ben marah, gw mempertanyakan cintanya. Gw tidak yakin soal cinta yang baru aja gw dapet.

"Hey... To... lihat sini..." Ben mendongakkan kepala gw sampe menatap matanya lagi. "Abang tau, ini pertama kalinya kamu cinta sama seseorang kan? Pertama kalinya kamu berhubungan lebih dari sekedar teman kan?"

"Iya"

"Oke, mungkin kamu belum terbiasa. Tapi denger, jika aku bilang, aku suka kamu, aku mau kamu ada di hidup aku selamanya. Dan seinget aku kemarin malam kamu juga mengatakan hal yang sama. Aku rasa kamu nggak perlu nanya lagi, oke? Aku... cinta... kamu... Yanto."

Aku nyengir, pertama kalinya aku ngedenger suara ala komandan yang lagi marahin anak buahnya dikeluarkan oleh Ben. "Siap ndan!"

"Bagus! Mandi yuk, aku pengen jalan-jalan, ngenal kota ini!" Tangannya menepuk pantatku. "Mau dimandiin..."

Halah... ternyata ni tentara bisa manja juga. Matanya ngegedein mirip Puss the Boots yang ada di Shrek. Menatap gw kayak anak 5 tahun yang minta dimandiin sama kakaknya. Gw ngejitak dia. "Ayo cepetan buka bajunya,"

Ben berjingkrak masuk ke kamar mandi yang nggak gitu leluasa. Dan gw nyusul di belakangnya. Ben nyalain shower dan kemudian langsung mengajak gw ke dalam aliran air.

"Hiii... dingin." Ben pun menggigil nggak terbiasa dengan air Bandung - Cimahi yang memang dingin kalau di pagi hari.

Gw mengambil shampoo dan langsung menggosok rambut Ben yang tipis, kemudian ngambil sabun dan langsung menyabuni dada Ben dari depan. Gw memberikan ekstra perhatian buat ketiak dan putingnya. Ben melenguh kecil pas gw menyentuh putingnya, memainkannya sedikit.

"Ah... putingku... enak banget..."

Gak mau bocor di tengah mandi, gw  menyabuni otot perutnya yang udah mirip dengan papan cucian, kotak-kotak tapi seksi. Nggak kayak binaraga yang gw pikir terlalu berlebihan ototnya. Ini cukup.

Shower yang dingin kurang pengaruh kayaknya sama keadaan tubuh gw dan Ben. Semakin laman gw mengelus dan membersihkan badan Ben, semakin besar dan keraslah lenguhan Ben. Sampai gw harus ngebersihin kontol 17cm-nya itu, udah ngaceng aja. Ya terpaksa, tanpa ba-bi-bu gw sedot kontolnya di kamar mandi.

"Ngggh... enak To... isep..."

Sambil ngisep kontol Bernhard, gw menyabuni pantatnya, dan membesihkan sela sela silitnya. Dan gw menemukan lobang boolnya. Gw elus elus.

"Masukin jari kamu To." Ben yang minta, gw yang melaksanakan. Gw masukin jari gw yang agak bersabun ke lubang bool Ben. "Ah... enak banget..."

Badan Ben gw balik hingga Ben ngerapet ke dinding biar gw bisa lebih konsentrasi dengan perhatian gw ke lubang bool dan sekitar pantatnya. Sengaja jari gw masih gw bikin keluar masuk bool Ben dan sret...

"Ugh... anjing... apaan tuh?"

"Itu prostat abang. Kalo aku colek seperti ini..."

"Shhh... anjing... enak banget. Bisa cepet keluar aku."

Aku ketawa kecil, baru kali ini Ben menggunakan bahasa kebun binatang pas gw rangsang. Dan bukannya kesinggung, kok gw malah tertarik ya. Gw raba lagi prostatnya dengan jariku yang tertimbun di dalem dua belah pantatnya.

"Aaaaaaaah...."

"Enak kan?"

"Anjing enak banget. Sama enaknya sama waktu ngentot kamu tadi malam."

Kaki Ben semakin bergetar, dan gw pun makin rajin meraba prostat Ben di dalem boolnya. ben cuma bisa melenguh nggak beraturan...

"To... entot aku To! Aku nggak tahan lagi! Cepet entot!"

"Beneran nih?"

"Iya, udah cepet entot aku!"

Gw pun dengan segera mengabulkan permintaannya. Gw kokang pistol lunak ukuran 16 cm yang udah tegang dari tadi, dan gw masukin pelan pelan ke lobangnya.

"Aaaah... enak banget bang."

"Entot To..."

Gw diem beberapa saat biar Ben bisa menyesuaikan diri dengan kontol gw, dan pelan-pelan gw tarik keluar masuk kontol gw.

"Entot yang keras To..."

Semakin lama gw semakin meningkatkan kecepatan entotan gw terhadap bool tentara ini. Dan gw hujamkan langsung ke prostat di dalem boolnya. Gw ngerasa gak karuan. Enak banget.

"Anjing lo To... gw dientot kayak anjing gencet begini. Ahhh..."

"Enak kan bang dientot? Kontol gw nyodok bool tentara abang nih."

"Anjing lo berani ngentot tentara, gw bales baru tau rasa..."

"Bales aja gak papa." Ngentot sambil dihiasi kata-kata makian seru juga. Dalam situasi biasa nggak mungkin kayaknya gw make maka-kata kayak gitu dalam percakapan sehari hari.

Ben kayaknya nggak tahan lagi.

"Ohhh... ohhh... ngecrot To... Kontol gw ngecrot..."

"Keluarin bang... jangan ditahan..."

"Kontol lu To... berani ngentotin tentara sampe muncrat... aaaah... aaaaah... aaaaahhhhhh," CROTTTT... CROOOOT... peju Ben ngecrot keras ke dinding kamar mandi. Sementara itu karena jepitannya yang semakin kuat di boolnya, gw pun nggak bisa nahan lagi.

"Abang... Yanto juga... ahhh," Gw tumpahin peju gw di lobang tentara Bernhard yang anget itu, sekitar 8 kecrotan.

Kita berdua diem sebentar, lemes habis orgasme yang kedua kalinya pagi ini. Sampe Ben duluan yang gerak...

"Hmmm... enak banget. Makasih sayang." Dia mengecup bibirku dengan mesra dan dalam.

"Sama sama... apa sih yang enggak buat abang..."

"Saatnya mandi beneran." Bernhard pun nyengir, dan langsung menumpahkan segayung air dingin ke badan gw.

"Dingin gobloooooook!" gw teriak.

"Huahahahahahaha," tawa Bernhard meledak keras di kamar mandi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...