Masak apa yang…?”
“sop aja deh, sama perkedel kentang aja ya?”
“nggak apa-apa. Masakanmu kan selalu enak. Hehehe...”
“ah akang... Sudah ya, ntar gosong aku gak tanggung jawab”
“ok, bentar lagi akang pulang kok.”
Telepon kututup, aku membalikkan perkedel yang sedang kugoreng.
Sore yang cerah. Aku sedang sibuk masak di asrama kang wira. Sudah hampir satu tahun kami bersama. Yah... Sebenarnya tidak terlalu bersama. Kami secara resmi masih tinggal terpisah, aku di asrama perwira muda, sedangkan kang wira di sebuah rumah dinas kecil khusus untuk perwira yang belum menikah tapi sudah punya jabatan.
Menikah dengan kang wira memberi aku lebih banyak waktu luang. Kang wira, dengan alasan macam macam, sering mengusirku dari kantor. Tujuannya, yah salah satunya seperti ini. Menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Paling hanya hari senin dan jum’at aku ikut apel sore. Selebihnya aku sudah sibuk di dapur.
Jam enam lebih sedikit kang wira pulang. Langsung memelukku dari belakang, dan mencium leherku.
“mandi sana, bau.”
“biasanya suka...”
“suka sih...”
Aku membalikkan badanku, menciumnya dengan lembut, lalu melepas kemejanya.
“... Yah, emang sih... Baumu memang enak.”
Terkadang, aku memanggilnya ayah. Siapa tahu kami nanti akan mengadopsi anak.
“hus... Dasar... Ya sudah aku mandi dulu sebentar ya.”
Kang wira melepaskan diri dari pelukanku. Makan malam sudah siap.
Seperti makan malam yang lain, kami sibuk membahas hari ini di kantor. Ada beberapa masalah yang memang biasanya kami bawa ke rumah. Syukur masalah itu bukan masalah besar. Menurut kang wira, yang menjadi masalah besar saat ini adalah soal tempat tinggal kami yang masih terpisah. Aku dan kang wira belum menemukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan komandan kami soal keluar markas.
Masalah yang sedang up to date hari ini adalah soal beberapa amunisi yang hilang dari gudang. Ada kecurigaan beberapa anggota mencurinya. Tapi entah siapa, kang wira mungkin ditugaskan untuk menyelidikinya. Mudah mudahan bukan dari batalyon kami.
Tok tok tok...
“kang... Ada yang ngetok tuh.”
“siapa sih.. Lagi sibuk makan juga...”
Tok tok tok...
“wir? Kamu ada di rumah?”
Kolonel irman! Wah bagaimana ini! Jam segini aku seharusnya tidak ada disini! Aku seharusnya ada di ruang makan bersama para perwira muda lainnya!
“sst... Gak papa! Siap n’dan, tunggu sebentar!”
Aku segera membereskan piringku dari meja makan, membawanya ke dapur. Membiarkan piring kang wira disitu, seolah olah, dia sendirian yang sedang makan.
Kang wira membuka pintu. Kolonel irman, usia 45 tahun. Berkumis tebal, sore ini, sedikit kusut.
“ada apa n’dan?”
“wir, kamu nggak kemana mana kan malam ini?”
“nggak n’dan, ada apa?”
“eh... Boleh saya masuk dulu?”
“silahkan.”
“oh kamu lagi makan ya? Ya udah terusin aja.”
“komandan sudah makan?”
“sudahlah.”
“belum. Gus! Tolong siapkan nasi buat kolonel!”
“siap ndan!” Aku berteriak dari dapur.
“lho, agus ada di sini?”
“iya ndan. Sejak patah tulang dulu dia yang bertanggung jawab soal makan malam saya.”
“wah enak donk kamu. Udah punya asisten pribadi.”
Aku segera keluar dengan satu mangkuk nasi untuk komandan dan piring kosong.
“minum apa n’dan?”
“kopi saja.”
Sebagai “pembantu yang baik” aku kembali ke belakang, membuatkan kopi untuk kolonel irman. Aduh! Aku tak tahu standar dia! Ya sudahlah, kupakai saja sebungkus kopi instan. Padahal aku biasanya menyajikan kopi standar masing masing orang.
“ada apa n’dan?”
“eh... Boleh saya malam ini nginap disini?”
Deg... Mau apa dia malam ini nginap disini? Ada sedikit rasa cemburu, ada sedikit rasa ketidaknyamanan ketika kolonel irman mengatakan hal itu. Aku takut kang wira ada main dengan kolonel. Aku takut hubunganku yang sebenarnya dengan kang wira akan ketahuan.
Aku membawa kopi milik kolonel dengan tangan agak bergetar. Kang wira menatapku sesaat. Matanya memancarkan “bagaimana ini?”. Aku hanya memberi kode, “ya terserah” kepadanya. Kang wira masih menatapku...
“ya, boleh sih ndan.”
Aku pun harus tahu diri, aku kembali ke dapur, membereskan makanku dan peralatan bekas memasak tadi. Dan terakhir membuatkan teh untuk kang wira.
Dapur sudah bersih. Aku terhenyak di kabinet dapur. Rasanya sudah lama aku tidak menginap di kamarnya. Sudah lama aku tidak dipeluknya semalam suntuk. Aku memang hampir tiap hari memasak untuk kang wira. Tapi agar tidak menimbulkan kecurigaan, dekat waktu tidur, aku selalu pulang ke asramaku. Tentu saja dengan tubuh letih karena kami push up sebelum tidur. Malam ini kami merencanakan untuk tidur bersama. Sudah lama kami tidak merasakan itu. Tapi sekarang, ada kolonel irman, aku tak bisa apa apa. Kang wira juga tidak bisa apa apa.
Secara hierarki militer, kolonel irman pangkatnya jauh diatas kang wira, apalagi aku. Kami “terpaksa” membolehkan kolonel irman, untuk menginap.
Kang wira menyusul ke dapur.
“sudah, masih ada besok.”
Air mataku mulai jatuh.
“shh...”
Kang wira menghapus air mataku lalu memelukku.
“sudah, sudah, ada kolonel di dalam, jangan nangis donk. Nanti ketahuan.”
Aku mengusap mataku, terasa panas.
“okey? Sudah nanti biar akang saja yang cuci piring.”
Kang wira masih memelukku. Aku ingin sejenak mengistrahatkan kepalaku di dadanya. Damai dan hangat. Kucium bau tubuhnya yang khas. Lama lama aku terangsang juga.
“ehm...”
Kaget!!! Kolonel irman di dapur! Otomatis aku melepaskan pelukang kang wira.
“ini piringnya...”
Kolonel irman dingin dingin saja. Setelah menyerahkan piring kepadaku, kolonel langsung kembali ke ruang tengah. Aku salah tingkah. Aku dan kang wira berpandangan. Bagaimana ini!
Seakan tahu isi pikiranku, kang wira cuma menjawab pendek, “sst... Lihat nanti saja. Mudah mudahan dia nggak nanya. Okey?”
Kang wira segera keluar dapur untuk menemani kolonel. Aku melanjutkan mencuci piring.
“dan, piring semua sudah dicuci, dapur sudah dirapikan. Saya pamit dulu. Mari pak kolonel.”
“ya silahkan.”
“sebentar ndan, saya antar agus ke pintu dulu.”
Logikanya, aku tidak perlu diantar. Aku sudah tahu dimana jalan keluar. Biasanya, kami bercinta dulu setelah makan malam. Atau nonton televisi dulu. Atau ngemil dulu. Atau berpelukan dulu. Kali ini tidak bisa.
“kamu nggak papa kan dik?”
Kang wira terpaksa memanggilku dengan “dik”, bukan sayang atau “gus” seperti biasa.
“sudah ya kang, sudah malam.”
Kang wira menutup pintu depannya. Memelukku sekali lagi. Mencium jidatku. Aku mencium tangannya.
“malam kang, mimpi basah ya...”
Kang wira tersenyum. Dan kembali ke dalam apartemennya.
“wir, kamu nggak memprioritaskan karir kan? Kamu lebih memprioritaskan agus.”
“maksud bapak? Saya selalu memprioritaskan karir kok pak. Agus kan cuma anggota saya, kenapa mesti saya prioritaskan dia.”
“nggak wir, nggak usah berdebat dengan saya. Saya tahu, yang ada di pikiran kamu cuma agus...”
Malam itu kolonel irman menginap, ternyata dia lebih dari menginap. Kang wira bilang, malam itu kolonel curhat banyak sekali.
Kolonel irman, sebenarnya sudah punya istri dan 2 anak. Mengikuti anjuran pemerintah katanya. Dua duanya laki laki. Cakep kok, aku pernah lihat mereka pas tugas jaga di depan. Dari depan tampak keluarga kolonel irman baik baik saja.
Ternyata kolonel irman tidak pernah baik baik saja. Kolonel irman, seperti banyak tentara lainnya, adalah seorang biseks. Tapi berbeda dengan yang lain, kolonel irman cenderung ke laki laki.
Kolonel irman menikah sejak umur 20 an, tapi dia menikah hanya untuk memenuhi karir militernya. Supaya lebih lancar. Kang agus dan aku tidak peduli kapan karir militer kami berakhir dan dengan pangkat apa. Kata kang wira, nabung saja deh. Nggak usah naik pangkat berlebihan juga nggak apa apa.
Perkawinan kolonel irman dengan istrinya berjalan lancar. Anaknya yang satu sudah kuliah, yang satu lagi smu. Karena kecenderungan seksnya. Kolonel irman jarang bermain cinta dengan istrinya. Istrinya bukan tidak protes. Bahkan istrinya pernah curiga.
Sejak kolonel, kolonel irman mendapat jatah seorang aspri. Kolonel tentu saja memilih yang tampan, berotot, dan tentu saja, berkelamin extra. Bukan hanya kolonel yang sering memakai sang aspri. Tetapi sang istri juga. Sang aspri asyik asyik saja.
Sore itu kolonel irman memergoki sang aspri sedang asyik bermain dengan istri kolonel. Pertengkaran terjadi, dan sang aspri dikembalikan ke kesatuannya. Istri kolonel akhirnya mengetahui kebiasaan kolonel irman, dan sore itu juga, dia pulang ke rumah orang tuanya. Entah untuk sementara, atau selama lamanya.
“aku iri sama kamu wir, sama wisnu, sama riki. Kalian semua enak, bisa dapet apa yang kalian inginkan. Saya? Saya selalu kesiksa. Saya nggak bisa tidur. Sedangkan kamu, sudah punya agus yang menemani. Istri saya bukan seseorang yang bisa menemani saya ditempat tidur wir. Saya nggak pernah mencintai dia. Saya bersalah, sepertinya saya sudah memanfaatkan dia cuma demi karir saya. Jadi benar kan? Kamu sama sekali nggak peduli soal karir kamu? Kamu sudah punya agus yang bisa membahagiakan kamu.”
“pak...”
“wir, kamu pasti ingin tinggal di luar markas kan? Biar kamu bisa lebih bebas bersama agus. Saya sudah liat tadi, kamu begitu menyayanginya...”
Kolonel irman menghela napasnya.
“...kalau kamu mau, kamu bisa kok tinggal di luar. Saya ingin pindah kesini saja wir. Rumah itu terlalu besar untuk saya dan anak anak.”
“lalu anak bapak bagaimana?”
“anak saya... Tergantung dia lah wir, apa dia mau ikut saya atau ikut ibunya.”
“bapak nggak niat cerai kan?”
“mungkin wir. Lihat nanti saja. Sepertinya memang kami akan bercerai. Besok suruh agus ambil suratnya di ruangan saya ya. Biar kalian bisa bebas secepatnya.”
“bapak yakin?”
Esok paginya aku mengambil surat ijin tinggal luar markas itu ke meja pak kolonel. Ada senyum tipis.
“gus?”
“ya ndan?”
“kapan kapan makan bareng ya.”
“oh iya, silahkan ndan.”
Dan akhir minggunya kami syukuran rumah baru yang kami beli. Dan... Diakhiri dengan pesta sex... Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...