Semuanya dimulai 6 tahun yang lalu. Ketika aku petama kali menginjakkan kaki di akademi militer. Suasananya dingin, khas akademi. Aku berkali kali telah memasuki akademi ini. Tapi kini statusku berbeda. Dulu aku hanyalah seorang anak kecil, yang ikut ayahnya bertugas, kemanapun dia pergi. Ibuku meninggal ketika aku masih 2 tahun. Kata ayah, dia tertabrak mobil. Sekarang, aku adalah orang yang mencari pekerjaan di akademi ini. Pekerjaan yang sama dengan ayahku. Tentara. Meskipun aku sudah hapal seluk beluk akademi ini. Namun tetap saja aku mengalami kesulitan. Terutama, ketika aku sadar, tidak ada satu orangpun yang bisa aku ajak bicara. Aku memang terbiasa didampingi seseorang. Biasanya ajudan ayah.
Ayah adalah tentara yang jujur. Aku baru tahu sekarang ini. Setelah reformasi bergulir, banyak perwira yang dirotasi, katanya terlibat kasus. Aku tak tahu kasus apa. Tetapi mereka semuanya mempunyai rumah besar dengan mobil mewah. Ayahku yang setara dengan mereka tak mempunyai semua itu. Dia masih tinggal di rumah dinasnya yang kecil, dengan satu sepeda motor dinasnya.
Akibatnya, aku sering merasa sendirian, aku tak punya teman bermain. Ajudan ayah, terlalu sibuk mengatur rumah, hanya mempunyai waktu sedikit untuk bermain denganku.
Kini aku sendirian, mencoba berani untuk bersikap, dan mendaftarkan diri untuk dilatih menjadi militer. Kenapa? Karena aku adalah orang yang bosan dengan hidup. Aku berpikir, menjadi militer adalah cara terbaik untuk mati lebih cepat.
Pendaftaran aku lalui dengan sukses. Tak ada yang menghambatku sedikitpun. Ada orang yang bilang, karena aku anak tentara, prosesnya dipermudah. Biarlah, aku tak peduli, toh aku masuk kualifikasi mereka. Berarti mereka juga telah mempertimbangan segalanya dalam diriku. Setahun lagi, aku akan menjadi bagian dari mereka.
Tes demi tes kulalui, teman tema yang berjuang bersamaku semakin sedikit, yang tadinya ribuan, kini tinggal ratusan, dan akhirnya, yang bersamaku hanya seratus dua puluh orang. Kami dikirim ke kamp pelatihan. Jauh dari kota.
Dari dokter pelatihan aku mendapat berita buruk. Paru-paruku ternyata lebih kecil daya tampungnya daripada yang seharusnya. Sehingga aku tak mungkin bertahan lama apabila berlari, atau berenang. Dokter berkata, aku boleh mengundurkan diri, jika mau.
Kata dokter, biasanya sesorang yang diketahui mempunyai kelainan, tetapi telah diterima, langsung diuji ulang dan bila mampu ditarik ke bagian administrasi. Tapi kali ini, setelah mengetahui latar belakang keluargaku, dia membiarkan aku untuk memilih sendiri nasibku. Aku memilih untuk tetap di pasukan.
Keadaanku ternyata membuat masalah bagi teman teman satu pasukan. Aku tak mampu berlari lebih dari enam kilometer. Lebih dari itu nafasku akan tersengal sengal, bahkan aku sempat pingsan. Akibatnya pasukanku sering dihukum akibat keterlambatan waktu.
Beberapa teman, yang tidak suka kehadiranku mulai berbicara dengan komandan pelatihan, agar aku dikeluarkan saja dari pasukan. Tetapi, akibatnya justru terbalik. Merekalah yang dikeluarkan dari pasukan, bahkan dari dinas. Katanya, mereka tidak mampu bekerjasama.
Beberapa bulan setelah kamp pelatihan dimulai, kami kedatangan beberapa pelatih baru. Entah kenapa, salah satu pelatih langsung ditunjuk untuk menangani pasukanku. Kini aku tak mau mengulang kembali masalah yang pernah teman temanku buat. Aku harus berbicara dengan pelatihku. Namanya Agung Wirapati. Keren! Aku terpaksa datang ke asramanya, karena aku tak mungkin mengajaknya berbicara di waktu pelatihan lapangan. Agung Wirapati, atau kang Wira. Orangnya tegas, namun jika di luar waktu pelatihan, dia menjadi pribadi yang bersahabat dan baik.
Ketika aku memasuki kamar asramanya, aku disuguhi pemandangan menarik. Suasana kamarnya didominasi warna biru. Tak sepeti kamar pelatih yang lain, yang umumnya seadanya dan biasa saja. Desain dan dekorasinya sangat enak dipandang. Dan hebatnya dalam dekorasi tersebut, dia bisa menyelipkan sisi sisi maskulin dan militer yang ada dalam dirinya.
"selamat malam pak"
"selamat malam, eh yon, ada apa?"
"saya perlu bicara dengan bapak."
"masuk, masuk. Sudahlah jangan panggil pak kalo diluar dinas, kayaknya
Saya udah tua banget."
"hahahaha... Nggak koq pak"
"mau minum apa?"
"ah nggak usah repot-repot."
"teh aja ya, mau kan?"
"ya nggak papa deh pak, yang ada aja."
Kang wira ke bagian belakang asramanya, membuat teh sebentar.
"kamu mau bicara apa?"
"sebetulnya, saya ada masalah... Pak."
"panggil kang saja."
"saya ada masalah kang."
"masalah apa? Ceritakan saja, siapa tau saya bisa bantu."
Aku pun menceritakan semuanya kepada kang wira. Tentang masalah "cacat" tubuh yang aku miliki. Termasuk penolakan beberapa orang teman, yang berujung dipecatnya mereka dari dinas kemiliteran.
Kang wira hanya diam saja ketika aku menceritakan semuanya. Aku menjadi sedikit takut. Apa kang wira marah? Atau apa aku akan dianggap menjilat kang wira? Aku tak tahu. Sampai...
"lalu, kamu mau saya bagaimana?"
Aku bingung menghadapi pertanyaan seperti itu. Aku mengira kang wira akan memutuskan sendiri apa yang akan dperbuatnya, atau dia akan memindahkan aku ke bagian lain. Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Pandangan kang wira semakin tajam. Aneh, kang wira tidak pernah memandang kami dengan cara seperti itu. Kang wira kembali mengulangi pertanyaanya.
"kamu, mau saya berbuat apa?"
Aku semakin terdiam. Lama lama aku hanya bisa menunduk, malu. Mungkin aku salah telah mendatangi kang wira untuk membatu menyelesaikan masalahku. Mungkin kang wira memang tidak mau peduli tentang masalahku. Mungkin aku dan pasukanku memang ditakdirkan untuk selalu kalah. Kang wira "membantu" mengangkat wajahku.
"ya sudah, kalau kamu tidak bisa menjawab, tidak apa apa. Minum dulu tehnya."
Aku masih sedikit bergetar ketika mengangkat gelas.
"sudah tenanglah."
Kang wira mencoba untuk menenangkanku.
"sebaiknya kamu sekarang pulang dan istirahat. Besok kita masih harus latihan."
Memang, ternyata kang wira tak memperhatikan masalahku.
Hari ini kami latihan seperti biasanya. Lari, pelatihan strategi dan hal hal kecil lainnya. Bedanya kali ini, pasukan kami hanya dihukum ringan ketika terlambat.
Selesai latihan kang wira memanggilku. Katanya aku belum selesai untuk hari itu. Aku masih disuruh lari dan berenang beberapa kilometer sebelum dilepas. Tapi kali ini kang wira ada di sampingku dan terus membimbingku. Bahkan ketika akhir minggu, ketika yang lain bisa tidur pulas, aku sudah dibangunkan oleh kang wira. Latihan tambahan katanya. Lama lama aku menjadi terbiasa untuk lari lebih dari 6 kilometer. Aku pun menjadi kuat berenang lama.
Sering berlatih bersama membuat hubungan kami semakin dekat. Kami lebih sering terlihat bersama. Dan, aku merasa cinta mulai tumbuh diantara kami.
Ketiadaan sosok ibu, membuatku menjadi anak yang dikelilingi oleh laki laki. Bagaimana tidak, hanya ayah dan ajudannya yang merawatku. Meskipun demikian, aku tak merindukan sosok ibu. Cinta ayah dan kebaikan para ajudan sudah cukup untukku. Apalagi ayah sangat pengertian dan sering memberi pengertian kepadaku. Akhirnya, aku mungkin menjadi seorang homoseksual.
Kedekatanku dengan kang wira membuat aku memiliki beberap previleges yang jarang dimiliki prajurit lainnya. Aku sedikit takut ada beberapa rekanku yang iri.
Tapi, ternyata teman-teman malah memanfaatkan kedekatanku dengan kang wira. Diantaranya, meminta libur tambahan di akhir minggu, atau, jatah makanan yang lebih, atau, cuti pulang kampung. Mau tak mau aku harus melayani permintaan mereka.
Kang wira hanya tertawa ketika aku mengungkapkan permintaan itu padanya, dia hanya berkata santai seakan sudah tau hal seperti ini akan terjadi. Kang wira, hanya memberikan cuti dan libur tambahan kepada mereka yang memerlukan. Itupun setelah kang wira menyelidiki kebenaran permintaan yang mereka lakukan. Tapi kang wira tidak marah kepadaku.
Akhir kelulusanku dari akademi militer semakin dekat, akupun menjadi semakin dekat dengan kang wira. Kang wira bahkan pernah berkata bahwa dia akan memilikiku selamanya, aku menganggapnya hanya bercanda saja. Hari hari terakhir pendidikan latihan pun semakin intens. Yang paling sering kami lakukan adalah simulasi perang melawan regu atau peleton lain. Kang wira, tidak seperti pelatih lainnya yang hanya bisa berteriak di handy talky, selalu medanmpingi kami.
Pada suatu saat, kami terjebak dalam pertempuran yang cukup besar. Kami dalam keadaan terdesak setengah dari anggota regu kami sudah "gugur". Reguku diperintahkan oleh kang wira untuk bersembunyi sampai keadaan aman, namun hal itu tak mungkin, terlalu banyak musuh yang mengelilingi kami.
Tiba tiba, kami mendengar berondongan senjata...
"tiarap!!!"
Entah kenapa, kang wira menjatuhkan dirinya diatasku. Kurasakan beberapa kali tekanan peluru "menembus" tubuh kang wira... Kang wira terbunuh sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...