creative commons logo

share by nc nd

Artikel boleh diredistribusi/disalin dengan syarat ditandai penulisnya, tidak dijual, dan syarat ini tidak boleh dirubah. Baca selengkapnya.

Minggu, 12 Maret 2006

A Story of My Life #2

Hari ini adalah hari kelulusan. Kang wira masih terbaring di kamarnya. Ketika menjatuhkan dirinya ke tubuhku saat latihan tempur, siku tangannya tak sengaja mencium batu di samping tempat kami tiarap. Hingga, beberapa urat dan tulangnya mengalami relokasi. Istilah simpelnya, salah urat atau apalah, aku tak mengerti. Yang pasti, selama dua minggu, dia tidak bisa menggunakan tangan kanannya itu untuk apapun.

Bergantian kami "piket" di asrama kang wira, untuk melayani semua kebutuhannya. Dari makan, sampai, ehm... Mandi.

Saat itulah kang wira...

"yon, terima kasih ya. Masakanmu enak. Aku ingin makan masakan kamu tiap hari."

dipuji seperti itu, membuatku napasku sedikit sesak. Aku tahu persis, di jepang, kata-kata seperti itu digunakan para pria. Sebagai alternatif, untuk melamar kekasihnya. Tapi aku tidak berani menjawab dengan jawaban "yang seharusnya", aku masih harus menjaga diriku sendiri. Dinas kemiliteran bertindak sangat kejam dengan para homoseksual. Setidaknya, banyak kasus ajudan bawahan, yang berakhir dengan dipecatnya bawahan.

"makasih kang. Yah beginilah kalau... Anak lelaki sering ditinggal orang tua pergi. Harus bisa masak sendiri."

"yon, jujur. Aku ingin makan masakan kamu tiap hari."

aku tak dapat menahannya lagi...

"... Kang, akang serius?"

"iya, agus suyono, aku ingin makan masakan mau setiap hari."

"... Kang, saya juga ingin memasak untuk akang setiap hari."

"jawab gitu aja kok repot sih..."

kang wira memelukku dari belakang, walau dengan satu tangan. Aku merasakan hembusan napas kang wira di kudukku, begitu hangat. Aku memejamkan mataku, menikmati hembusan demi hembusan nafas kang wira di kudukku. Acara cuci piring itu menjadi agak lama akibat pelukan kang wira. Aku pun sedikit takut cipratan air akan mengenai gips yang dipakainya.

Selesai cuci piring, seperti biasa aku membuatkan teh untuknya. Kami hampir tak pernah minum kopi. Lebih sehat, katanya. Kali ini kami tak duduk terpisah. Di sofa lipatnya, kami duduk bersama. Menikmati kopi sambil menikmati juga, berita perginya presiden untuk piknik yang kesekian kalinya ke luar negeri.

Kang wira menjatuhkan kepalanya di bahuku, sambil merangkul. Aku semakin menikmati damainya sore itu. Aku mengambil tangannya dan menciumnya.

Sejak sore itu, hanya aku yang diharuskan piket di asrama kang wira. Meskipun demikian, aku masih harus tetap mengikuti jadwal jadwal latihan yang telah ditetapkan.

"ngapain aja, kok cape banget kelihatannya."

"abis lari aja, dari bukit."

"ooo, kita olahraga lagi mau nggak?"

"ah akang, tangan akang kan masih kayak gitu. Emang mau olahraga apa? Push up? Ntar tangan akang bengkak lagi, jangan ah"

"bukan yang itu! Olahraga ini..."

kalau sudah begini, dia seperti anak kecil, yang merengek minta "dikerjai". Aku pura-pura tidak mengerti, seperti biasanya. Hehehe.

"gimana caranya...?"

"dibuka... Dijilat... Trus dicelupin."

tagline iklan biskuit coklat itu dipakai kang wira untuk menunjukkan apa yang dia inginkan. Aku yang masih berkeringat, sehabis lari sore, harus menghadapi "latihan" yang lebih menyegarkan jiwa raga ini.

"jangan dicelupin yah, ntar, nunggu aku lulus dulu aja"

aku hanya melakukan oral seks padanya.

"yon ..."

dia masih memanggilku dengan nama, katanya aku masih anak didiknya.

"apa kang?"

"... Kamu mau cincin kamu dipakein berlian apa enggak?"

"hahaha..."

kami tertawa.

"aduh... Jangan digigit gitu donk."

"abis, akang sembarangan banget. Cincin cincin apa lagi. Akang mo nikah sama sapa emang?"

"... Sama kamu! Aku kan udah pesen penghulu."

"hahaha... Sembarangan aja akang nih. Emang bisa? Ga bisa lagih!"

"inget, kita itu hidup di indonesia, apapun bisa... Hehehe..."

"ya udah, kalo gitu, aku pengen cincin perak, pake ukiran kayak duit lima ratusan keping. Hahaha..."

alhamdulillah, pagi ini cuaca cukup mendukung para "wisudawan". Seperti biasa, kami sudah dijemur dari sekitar pukul tujuh pagi, untuk acara yang dilangsungkan sekitar pukul sepuluh.

Dari seratus dua puluh rekan, ternyata yang lulus hanya seratus delapan. Beberapa rekan, terpaksa mengundurkan diri akibat kecelakaan, sakit berat, dan terlibat beberapa kasus yang tidak dapat ditolerir oleh akademi.

Cuaca hari itu memang cerah, tapi angin bertiup sedang. Sehingga kami yang dijemur, cukup mendapatkan dispensasi berbentuk hembusan angin, yang menyegarkan.

Acara berlangsung lancar. Topi kadet pun kami lemparkan. Selesai sudah, masa pendidikan!

Kami diberi libur satu minggu, untuk mengunjungi sanak famili.

Aku sudah menduga, ayahku tak ada di rumah. Ajudan mengatakan ayah sedang "piknik" ke pedalaman kalimantan. Tak lupa dia mengucapkan selamat atas kelulusanku.

Aku baru bisa lapor ke asrama kang wira, sore harinya. Berbekal bungkusan hadiah kecil, yang diberikan rekan rekan satu regu, untuk kang wira.

"kang, ini ucapan terima kasih dari teman-teman. Untuk akang."

"kok mesti repot-repot sih. Maaf ya, akang nggak bisa hadir di upacara."

"nggak papa kang. Gimana tangannya?"

"besok dilepas kok. Kamu nggak pulang kan?..."

aku menggeleng

"... Ya udah, besok anterin saya, ngelepas gips sialan ini, trus belanja keperluan dikit yah?"

"siap laksanakan!"

kang wira tertawa.

Malam itu aku dan kang wira melewati malam berdua untuk kesekian kalinya. Nonton vcd, dan menikmati beberapa gelas minuman keras, es teh susu. Kami pun tertidur di sofa lipat yang telah berubah menjadi tempat tidur.

Jam sebelas siang, kami berboncengan menuju rumah sakit, untuk melepas gips. Sedang musim demam berdarah. Kami harus menunggu dokter agak lama. Akhirnya. Baru sekitar jam dua siang kami bsa keluar dari rumah sakit itu.

"ke... Supermarket aja deh, udah sore, pasar udah habis barang barang bagusnya."

kang wira membeli beberapa ikat sayuran, kentang, daging dan bumbu-bumbu instan. Tapi dalam jumlah, yang menurutku cukup untuk 5 sampai 6 orang. Dan, yang sedikit mengejutkan, kang wira mengambil dua botol anggur, bukan anggur kolesom biasa. Tapi anggur impor yang harganya cukup wah.

"mo bikin pesta kang?"

"iya, bakar daging aja, beberapa temen kamu kan nggak pulang juga. Kita undang makan makan malam ini. Sekalian perayaan kelulusan kamu kamu semua."

"sekarang ke toko roti itu yah."

kang wira masuk sendiri dan mengambil pesanannya. Aku tak tahu apa karena disimpan salam dus putih berukuran sedang.

"dah yuk! Ke rumah temen dulu ya. Kamu punya sim a nggak?"

"punya. Tapi udah lama aku nggak nyetir mobil."

"gak papa."

kang wira mengajak aku ke rumah temannya. Meminjam mobilnya. Dua hari lagi dikembalikan, bensin full tank, janjinya. Motor kang wira kami tukarkan dengan mobil itu.

"aku aja deh yang nyetir."

aku diajak kang wira sedikit memutari kota bandung. Sampai jalanan setengah gelap, pager kang wira berteriak. Kang wira membacanya sebentar, lalu...

"sudah siap..."

"apanya yang siap."

"pelaminan kita"

kami tertawa.

Hari sudah gelap ketika kami sampai di suatu daerah di bandung utara. Sebuah villa! Disana kami disambut empat temanku, asep, herman, riki, dan wisnu.

"semua siap bos. Tinggal pelaksanaan saja"

"ya sudah, barangnya ada di mobil. Kamu siapkan saja."

arang kami bakar, daging kami bumbui, sayuran kami rebus dan kukus, wine kami dinginkan, api unggun kami nyalakan.

"bang, sudah saatnya. Ini..."

riki memberikan sesuatu kepada kang wira

"yon..."

aku masih memanggang daging. Kang wira memanggilku.

"... Kesini dulu,..."

aku setengah terseret menuju ke api unggun.

"... Yon, ini resmi..."

kang wira membuka kotak kecil. Isinya, cincin perak, dengan ukiran kecil seperti uang logam lima ratus rupiah.

"... Letnan dua agus suyono, maukah kamu, mendampingi saya selamanya, dalam situasi apapun dan dalam kondisi apapun, suka maupun duka?"

"aku..."

satu menit berlalu, tak ada yang bergerak.

"aku... Bersedia, siap laksanakan!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan pendapat anda tentang sajian kami...